Bagian 10. Mungkinkah?

1.9K 200 58
                                    

"Jod ... kok?" Sekar nampak kebingungan. Alis hitam lebat bak semut berbaris itu semakin menukik ke atas.

"Bang Eggie nyuruh saya jemput, dia lembur soalnya. Ayo naik."

Tak ada ekspresi yang kuberikan saat berbicara dengannya. Begitu juga dengan Sekar, entah apa yang ia rasakan, tapi raut wajahnya begitu tak enak dilihat.

Dan ... ah! Sekar menduduki jok motorku, hal yang sebenarnya kurindukan, tapi ... percuma. Toh, dalam hitungan bulan, ia akan menjadi milik Bang Eggie.

Degup jantung semakin tak beraturan saat menikmati detik-detik kebersamaan yang begitu berbeda. Aku bersamanya, kami berdekatan, tapi tak ada bahagia di sana.

Sengaja kuarahkan kaca spion agar dapat melihat wajahnya. Sudut mata Sekar basah, bibir bawahnya ia gigit hingga basah. Tak sedikit pun ia hapus air mata tersebut.

Kami membisu, di tengah kerinduan yang terpendam. Tentunya kerinduanku, bukan Sekar. Melintasi jalan ibu kota yang tak luput dari kemacetan, di tengah teriknya matahari, membuat kami kehausan.

"Jod."

"Ya, Mbak."

"Aku rindu, Jod."

Aku tersenyum getir.

"Aku rindu kita dekat seperti dulu, Jod."

Aku diam, memilih untuk tak membalas ucapannya.

"Jod, kamu dengar nggak? Jod, aku lelah menjalani semua ini. Membuat perasaan yang telah mati agar bersemi kembali itu tak mudah."

"Maksudmu, Mbak?"

"Hanya ada satu mahasiswa yang bertahta di hati ini, Jod."

Sekar tak menjawab. Malah melingkarkan tangannya di pinggangku. Ingin menepis tapi rasa nyaman lebih mendominasi. Kami terbuai. Status Sekar sebagai calon istri Bang Eggie seolah terlupakan sudah.

Sekar semakin berani, ia sandarkan kepalanya ke punggung ini. Nyaman. Hanya itu yang terasa saat ini. Pelan kuusap punggung tangan halus itu. Kami semakin terbuai dan lupa.

Masih kutatap wajah cantik yang sedang bersandar di bahu melalui spion. Air matanya tak kunjung henti.

"Ngapa nangis dah, Mbak?"

"Aku bahagia, kembali bisa berdekatan denganmu, Jod."

"T-tapi ... Bang Eggie?'

"Aku nggak bisa, Jod."

"Mbak ...."

"Please, kita menepi. Aku mau ngomong banyak sama kamu."

Aku mengangguk, mengiyakan permintaan Sekar. Menepikan motor tepat di taman yang terletak di pinggir jalan. Tidak mewah, tapi romantis.

Berjalan melewati rerumputan hijau dengan bunga soka di kiri dan kanannya. Sekar tak henti memegang lenganku, sesekali bersandar. Rasa bersalah pada Bang Eggie terus mengganggu, tapi kalah dengan kenyamanan yang Sekar berikan saat ini.

"Kita duduk di sana," ucapnya sambil menunjuk salah satu kursi taman.

Sekar masih menggandeng lenganku yang kaku saking tak mampu membalas kemesraannya. Ia tersenyum banyak kali ini, dan aku suka.

Di kursi, kami duduk berdekatan tanpa jarak. Jangan tanya seperti apa rasanya. Ini saja bersyukur, karena si jantung nggak lompat dari tempatnya. Terlebih, aroma parfum yang menguar dari tubuhnya semakin membuat tubuhku gelagapan.

"Mbak, kenapa bersikap secentil ini? Sebentar lagi kan kalian akan menikah?"

"Peduli amat, Jod. Aku tak mencintai kakakmu lagi."

"Mbak? Kok sembarangan amat?"

"Nggak seru sama Eggie, Jod."

"Kenapa, Mbak?"

"Kalau ciuman nggak diulang-ulang kayak kamu."

Gantian, pipi yang sedikit gembil itu kucubit mesra. Seenaknya saja bilang hal ngawur di tengah pembicaraan serius seperti ini.

"Maksud Mbak begini apa? Mau bikin saya belingsatan lagi? Terus ujung-ujungnya nikah juga sama Bang Eggie. Tuh, dia aja udah sibuk nyari tema pernikahan kalian."

"Nggak!" ucapnya singkat.

"Nggak apa?"

"Nggak akan nikah sama abang kamu. Nggak apa nggak laku. Aku udah lelah ngadepin abangmu."

"Mbak ... apa sih?"

Lagi, air mata itu jatuh membasahi pipi bundarnya. Kini tangannya berpindah ke kedua pipiku, membingkainya perlahan hingga dua mata kami saling berpandangan.

Mampus gue, bakal lemah kalau udah berhadapan gini sama dia. Batin ini terus berguman saat bertatapan dengannya.

Mata bulat itu terus memancarkan cinta. Benar-benar aku merasa terhipnotis kali ini. Kami benar-benar terbuai, dan sesaat melupakan Eggie yang mungkin telah menanti kabar dari kekasihnya.

Sekar benar-benar seperti hilang kesadaran sepertinya. Terlebih, saat bingkai kecil nan lembut itu mendarat dengan mesra. Aku tak berani membalasnya, wajah Bang Eggie benar-benar memenuhi otakku.

Sorry, Bang. Sorry banget. Gue bener-bener cinta sama calon lo. Hati ini terus berkecamuk. Terlebih saat menyadari bahwa Sekar tak juga menghentikan aktivitasnya, justru memberikan ritme yang lebih lembut pada bibir ini.

"Jod," panggilnya, sambil mengusap bibir merah yang sedikit basah.

"Ya, Mbak?" jawabku datar.

Wajahnya memerah seketika, entah kenapa. Tak tahu kesal, atau mungkin malu akibat sikapku yang begitu hambar. Sedetik kemudian ia berlari meninggalkanku, dan aku memilih untuk tak mengejarnya.

Ini begitu sulit. Aku tak mungkin mengkhianati kakakku sendiri, tapi tak kuasa mengubur perasaan ini.

Gadis imut itu terus berlari, sesekali menengok ke belakang. Mungkin berharap jika aku mengejarnya, tapi sayang tidak.

Hari ini benar-benar mengukir memori indah, sekaligus menyakitkan bagiku. Indah saat tahu bahwa ternyata ia juga menaruh hati padaku, dan menyakitkan karena memang faktanya, ia adalah calon kakak iparku sendiri.

Lemah rasanya tubuh ini, tapi harus beranjak meninggalkan taman ini. Melangkah pelan dengan tergopoh-gopoh, seperti hati yang telah luluh lantak ini.

Sekar, i love you.

Sekar, i love you so much.

Aku terus berucap hal itu dalam hati. Berharap Tuhan mendengarnya, lalu menyampaikan isi hatiku pada Sekar. Aku bukan tak lagi mencintainya, sikap dingin tadi hanya karena bingung. Bagaimana jika cinta ini terus tumbuh subur, lantas Sekar berhenti menyiramnya, dan justru mencampakkannya.

Baru sampai tepi taman, aku dikagetkan oleh kerumunan orang di sana. Padat, ramai, seperti melihat sesuatu yang kemungkinan adalah kecelakaan.

"Waduh, kasihan banget."

"Waduh, mana cantik."

"Bunuh diri apa gimana, ya?"

Selentingan ucapan mereka begitu jelas di telinga. Jangan-jangan ....

Langkah ini semakin cepat, saking penasaran dengan korbannya. Aku berdoa bukan Sekar. Ia meninggalkanku dengan raut wajah tak enak. Aku takut dia, aku takut dia.

Kusibakkan tubuh-tubuh yang mengerumuni tubuh seorang wanita yang wajahnya telah berlumuran darah. Lemas kaki ini seketika. Tak bisa berkata apa-apa, sampai ponsel pun jatuh dari genggaman.

Mbak Dosen ImutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang