Bagian 11

1K 132 12
                                    

"Mbak Sekaaaar!"

Kupeluk tubuh bersimbah darah tersebut. Sempat kulihat matanya masih terbuka, setelah akhirnya pingsan dalam pangkuan.

"Mbak Sekar bangun!" Kugoncang tubuh Sekar yang telah terkapar tanpa gerakan.

Entah bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Seseorang mengatakan peristiwanya begitu cepat, kemungkinan besar tabrak lari, atau Sekar-lah yang sengaja menabrakkan diri.

Kugotong tubuh kecilnya untuk menepi, sembari berusaha menghentikan darah yang keluar dari kepalanya. Beberapa menit membisu di tengah kerumunan orang yang hanya menonton saja tanpa bergerak membantu. Hati ini kesal, kemudian berlari memutari kerumunan dan meminta bantuan kepada mereka.

"Pak, tolong."

"Bu, tolong."

Aku kembali memeluk tubuh Sekar, hanya sebentar dan kemudian berlari memutari kerumunan orang lagi.

"Pak, tolong."

"Bu, tolong."

Kembali memeluk tubuh Sekar, hanya sebentar dan kemudian berlari memutari kerumunan orang lagi. Hingga akhirnya aku hanya berlari tanpa henti memutari mereka seperti orang kurang kerjaan.

Begitu seterusnya, sampai seseorang menghampiri. Mungkin menangkap keanehan padaku yang tampak idiot ini. Lelaki dengan kumis lebat tersebut menawarkan bantuannya untuk membawa Sekar ke rumah sakit dengan mobilnya. Aku mengangguk.

Sampai sejauh ini, belum ada air mata yang keluar. Entah kenapa, di posisi ini aku tak mampu menangis. Justru, yang kukhawatirkan adalah, bagaimana caranya menjelaskan ini semua pada Bang Eggie.

🥀🥀🥀

Angkutan umum yang berhenti sembarangan membuat jalanan jadi sangat macet. Aku kesal, lalu membuka kaca jendela mobil dan meneriaki mereka yang memperlambat perjalanan kami ke rumah sakit.

"Woy, minggir!".

"Minggir kampret! Minggir lu semua! Kalo sampe temen gue mati, gue bunuh lu semua!"

Emosi meneriaki mereka yang membuat perjalananku membawa Sekar ke rumah sakit terhambat. Saat melihat Sekar terkapar tadi, aku tak kepikiran menelepon ambulans. Hanya berteriak nggak karuan, berharap seseorang berbaik hati membawanya ke rumah sakit dengan kondisi demikian.

Wajah ini kembali menoleh ke tubuh Sekar yang bersimbah darah. Kuraih punggung tangannya dan mengecupnya berkali-kali. Masih belum menangis, mungkin air mata ini telah habis terbuang setelah beberapa bulan ia menghilang saat meninggalkan harapan.

"Mas keluarganya?"

Bingung aku menjawab pertanyaan si Bapak.

"Temannya, Pak."

"Kalau gitu segera hubungi keluarganya. Tau kontaknya?"

"HP-nya dikunci, Pak. Saya nggak tau password-nya."

"Telepon siapa pun yang kamu tau."

Jelas, harusnya memang kutelepon itu Bang Eggie. Namun, hati ini begitu takut mendapati responnya. Gemetar tangan saat memegang ponsel di tangan. Perlahan mengusap layarnya, mencari kontak Eggie, tapi urung.

"Mas, kita butuh kontak keluarganya."

"Ee-eh iya, Pak."

Segera kutekan ikon kontak dan mencari nomor Bang Eggie. Panggilan tersambung, dan segera diangkatnya.

"Eit ngapa, Jod? Lu dah jemput Sekar? Kok dia belum berkabar?"

Aku diam, tak berani menjawabnya.

Mbak Dosen ImutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang