Bagian 13

1.2K 135 11
                                    

"Sungguh aku merasa berdosa pada Sekar, pada dirinya yang di mataku selalu terlihat sempurna. Jod, kenalkan, saya Arimbi."

"Sekar Arimbi?" tanyaku spontan, sebab setahuku Arimbi adalah nama lengkap Sekar.

"Bukan, tapi Jelita Arimbi." Gadis itu tersenyum sebentar, lalu kembali menatap datar. "Hanya saja, aku terlalu jijik dipanggil dengan sebutan Jelita. Sebab fisik ini sangat jauh dari kata Jelita," sambungnya lagi.

Jelas, ini memang bukan Sekar. Nada suaranya beda. Arimbi lebih lembut dan dewasa, tak seperti Sekar yang sedikit nyaring dan kekanak-kanakan.

"Sekar ... gadis malang yang selalu menolong kakak kembarnya. Rela berkorban, meski dirinya tahu akan menjadi sakit jika memaksakan hatinya untuk menolongku."

Aku memutar bahu, duduk menghadap Arimbi. Dengan saksama kuperhatikan wajahnya yang memang serupa dengan Sekar. Yakin, mereka memang saudara kembar. Hanya saja, Arimbi terlahir tidak sempurna.

Sisi kiri wajah Arimbi lebih gelap. Jika orang dulu yang melihat, pasti akan mengatakan kalau Arimbi ini dilahirkan saat gerhana nampak, makanya berwajah belang.

Tak hanya itu, mata kirinya pun menyipit, dan lubang hidung yang agak berbeda. Intinya, separuh wajah Arimbi tak sempurna, pun dengan kakinya yang cacat.

"Maafin aku, Jod." Arimbi terisak, sedang aku bingung harus berbuat apa. Pun bingung dengan segala hal yang terjadi. Mengapa? Ada apa?

"Saya nggak paham dah. Ada apa sih? Ngapain minta maaf sama saya dah? Salah situ apa?"

"Aku selalu memaksa Sekar menuruti ambisiku. Saat aku ingin sekali piala sebagai juara lomba tari, Sekarlah yang menggantikan. Separuh wajahnya didandani hingga menyerupai cacatku, berpura-pura pincang, tapi tetap leluasa berlenggak-lenggok. Piala itu berhasil kuraih beserta uangnya, tentu untukku, meski Sekar yang melakukannya." Arimbi kembali terisak.

Kagak jelas, sumpah nggak jelas. Ngapain beginian diceritain ke gue. Aku bersungut dalam hati. Memang Arimbi ini super nggak jelas, nggak ada faedahnya juga nyeritain ginian. Nggak bikin Sekar bangun dari sakitnya, nggak bikin dia terus jadi jodohku.

"Mbak Arimbi, ini maksudnya gimana? Faedahnya apa nyeritain ginian ke saya?" Aku tepuk jidat, tapi tidak dengan Arimbi.

Arimbi masih menangis, mau menyeka air matanya pun percuma. Canggung, kami tak saling kenal. Akhirnya, kuputuskan untuk kembali ke kelas untuk mengikuti mata kuliah.

"Ya udah, Mbak. Unfaedah, gue cabut."

Arimbi terbelalak, lalu berkata spontan, "Harusnya bukan Sekar yang menikah dengan Eggie."

Deg.

Langkah ini kuputar kembali, lalu berjalan mendekati Arimbi. "Maksudmu, Mbak?"

Sementara itu, Arimbi sibuk memainkan ponselnya. Entah untuk apa, sepertinya ia sedang mencari sebuah data penting yang sudah tertimpa file lain.

"Aplikasi kencan?" tanyaku heran, dengan alis sedikit menukik.

Arimbi mengangguk.

"Seperti yang aku bilang, Sekar terlalu sempurna untukku. Karena itu, aku hobi menggunakan fotonya kala mendaftar di aplikasi kencan. Kupikir, nggak masalah, wajah kami mirip. Dipoles bedak sedikit saja, kami akan benar-benar mirip, meski aku tak sesempurna Sekar."

"Lalu?"

"Di sana aku kenal Eggie. Lelaki humoris yang berhasil membuatku nyaman. Kami saling bertanya kabar, bertukar cerita. Dan ...."

"Dan apa?"

"Aku mulai mencintainya, sebab nyaman yang terlalu dalam. Berkali-kali Eggie mengajakku bertemu, tapi aku terlalu takut."

Mbak Dosen ImutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang