Bagian 7 Sekar, Where are you?

2.1K 234 10
                                    

Kami terlalu banyak melakukan kontak fisik hari ini. Meski berbalut canda, seperti mencubit, menggigit, memukul kecil, dan menginjak. Semua cukup memberikan getaran aneh di dalam dada.

Sore ini, Sekar terlalu asyik menanamkan hal positif ke dalam pikiran. Dirinya yang bahkan pernah lebih terpuruk, kini benar-benar mendonorkan motivasinya padaku.

Sekar menatapku dalam, pun dengan wajahku yang telah dibingkai dengan kedua tangannya. Ia betul-betul bertindak bak motivator, berharap segala energi positif tersalur padaku.

"Kamu adalah lelaki hebat, anak yang dibanggakan, dan akan memiliki masa depan yang cemerlang. Buang segala resah yang terus mengintai hidupmu. Segala bisik yang membuatmu harus melakukan hal impulsif seperti ketakutan berlebihan, kekhawatiran tanpa sebab, hingga semua yang kamu lakukan harus diulang. Tanamkan, Jod! Tanamkan. Terus kamu ulang kata-kata ini, sesaat sebelum kamu tidur."

Aku terpaku, dua manik cokelat itu masih menatap tajam. Terharu karena belum pernah satu pun manusia di luar sana yang bersikap seperti ini.

"Mbak ...."

"Lakukan sebelum kamu tidur, saat alam bawah sadarmu mulai bekerja. 15 sampai 30 menit sebelum tidur. Terus, dan terus."

"Alam bawah sadar?" tanyaku heran, dengan mata masih menatap ke arahnya.

"Iya, Jod. Ketika kamu menanamkan hal positif saat alam bawah sadar bekerja. Maka otakmu akan merekam. Percaya tidak? Aku selalu berbicara pada diri sendiri, kadang dalam hati, lebih sering dengan suara lantang. 'Aku harus lepas trauma, ikhlaskan masa lalu, dan berdamai dengan diri. Oh, Sekar ... aku terlalu baik untuk menderita.' Selalu kuulang, sesaat mau tidur, saat mata sudah ngantuk berat, tapi belum terlelap."

"Lalu? Apa yang Mbak rasakan?"

"Jauh membaik. Mindset itu penting. Lakukan, Jod. Mulai malam ini."

Jarak kami semakin dekat, mungkin tak lebih dari satu jengkal. Kata-kata Sekar bagai racun dalam diri, terus menyebar hingga ke relung hati. Akan tetapi, perlakuannya yang seperti ini justru membuatku takut. Bagaimana bila hati ini lama-lama luluh, kemudian tumbuh cinta, dan saat bersemi, hanya kekecewaan yang didapat.

Siapakah yang ingin memiliki pasangan aneh sepertiku?

"Saya mohon, Mbak. Jangan terlalu baik. Takut salah mengartikan."

Sekar tersenyum, disambut dengan titik air yang jatuh membasahi wajah kami. Segera aku menganjaknya beranjak, mencari tempat teduh, tapi ia enggan.

"Mbak, saya mohon. Jangan terlalu baik."

Sekar masih terdiam. Membuat hati ini terus bergetar, terutama saat mata cantik itu mengerjap pelan. Kami masih berdiri, di atas bumi yang mulai basah. Aku semakin tak fokus. Terlebih saat menyadari, kemeja putihnya basah, dan mencetak sesuatu yang tak seharusnya kunikmati dengan mata ini.

"Aku nggak baik, aku hanya senang, menemukan teman yang sama. Sama-sama terpuruk, dan ...," Sekar menghentikan ucapannya sejenak. "Sama-sama sakit jiwa." Ia tertawa kecil, seraya mencolek cuping hidung yang lumayan mancung ini.

Kami pun tertawa, tak lama, lalu terdiam karena salah tingkah.

Sejenak dalam keheningan, membuat pikiranku buyar luar biasa. Aku sangat menikmati momen ini. Berdiri sangat dekat dengan gadis yang tingginya bahkan tak melewati bahuku. Tangan yang sedari tadi berada di sebelah tubuh kini berpindah sudah, merengkuh erat pinggang ramping milik Sekar.

"Kamu cantik, Mbak. Bakal sulit untuk nggak jatuh cinta sama asdos sendiri kalau begini ceritanya."

Sekar tersenyum sangat manis, membuat akal sehatku semakin buyar. Segera kukecup bibir ranumnya. Sekali, dua kali ... dan tiga kali. Ia masih tak membalas, tapi juga tak memberontak. Sumpah, ini kuulang dengan sadar, bukan karena OCD. Pertama kali dalam hidup berani mencium wanita.

Mbak Dosen ImutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang