Part 8

36 16 20
                                    

Karya : Firda.  efiern

Tepat dua bulan. Akhir-akhir ini sikap Senja perlahan berubah. Senja yang ceria berubah menjadi pendiam. Saat di sekolah ia menjadi anak yang  tahan banting, tegar, dan bodo amat atas bullyan yang dilakukan kakak kelasnya—Bela.

Tapi siapa menyangka bahwa sebenarnya Senja rapuh, ia hanya  manusia biasa yang butuh seseorang untuk menguatkan dan mendukungnya. Jika sendiri di kamar terkadang Senja membanting apa saja yang ada di dekatnya untuk melampiaskan amarah. Kadang berteriak, menangis, dan mengamuk untuk meluapkan semua emosi dan kekecewaan yang begitu besar. Namun tetap saja rasa sesak itu tak kunjung pergi tapi malah membuat Senja semakin kecewa dan menderita.

Sahara yang melihat keseharian Senja ditambah dengan amukan putrinya saat melihat dirinya menjadi takut dan khawatir. Jika dibiarkan kondisi psikis Senja semakin buruk karena depresi, karena itulah Sahara membawa putrinya ke rumah sakit jiwa. Di mana Sahara tidak perlu repot-repot untuk mengurus putrinya lagi dan bersenang-senang dengan temanya.

Beberapa hari setelah mengirim Senja ke rumah sakit jiwa. Sahara dengan teganya menjual tempat yang paling bersejarah bagi keluarganya, rumah yang menjadi saksi bisu bahwa keluarga Aryadi pernah bahagia, pernah saling mencintai dan menyayangi. Tidak hanya itu, demi kesenangan pribadinya ia juga mengambil semua aset yang dimiliki suaminya—Aryadi dan kabur bersama pacar barunya.

Sementara di kediaman Fajar ia terlihat membuka tutup ponsel menunggu kabar dari kekasihnya. Belakang ini mereka tidak pernah bertemu maupun bertatap muka lantaran memang tidak diperbolehkan Sahara. Sahara khawatir jika Fajar melihat kondisi Senja yang jauh dari kata baik-baik saja akan menjauhi anaknya.

Beberapa kali Fajar mencoba mengirim pesan bahkan menelepon Senja namun tetap saja ia tidak membalas ataupun menjawabnya.

Fajar menghembuskan napas menatap ponsel sebentar lalu menaruhnya di atas meja belajar.

"Where are you?" gumam Fajar sambil menatap rumah Senja dari jendela kamarnya. Fajar benar-benar tidak tahu harus apa dan bagaimana. Satu hal yang pasti, firasatnya mengatakan bahwa Senja sedang tidak baik-baik saja.

Lamunan Fajar buyar ketika melihat sebuah pick up berhenti di depan rumah Senja. Terlihat dua orang turun dari mobil itu kemudian masuk ke dalam rumah Senja lalu mengangkut perabotan yang ada di dalamnya.

Fajar yang melihat itu langsung beranjak karena penasaran apa yang terjadi. Mungkin dari sana ia juga mendapat jawaban perihal kabar gadis kecilnya.

"Permisi pak. Ada apa ini? Mengapa barang-barangnya diangkut?" tanya Fajar pada dua orang yang sedang mengangkut sofa.

"Pak Aryadi sudah menjual rumah ini dan akan segera ditempati orang baru."

"Hah?!" Fajar terkejut bukan main.

"Lalu mereka pindah di mana pak?"

"Mana kami tahu."

"Baiklah. Saya permisi dulu, terima kasih."

Fajar yang mendapat kabar itu bingung, banyak pertanyaan dalam benaknya. Tentang mengapa mendadak seperti ini? Dan satu lagi, mengapa Senja tidak memberitahu hal ini padanya?
Karena tak ingin membuang waktu, Fajar  bergegas kembali ke rumahnya untuk mengambil motor kemudian mencari keberadaan Senja dan keluarganya.

Hari sudah mulai gelap, hawa mulai dingin lantaran hampir tengah malam. Namun Fajar tetap mencari Senja tanpa tahu di mana gadis itu berada, alhasil ia tetap tidak dapat menemukan gadis kecilnya berada. Saat itu pikirannya sedang kalut dan tak bisa berpikir panjang dan langsung khawatir saat mendengar bahwa Senja pindah. Setelah bergulat dengan batinnya, akhirnya Fajar memutuskan untuk kembali ke rumah dan melanjutkan esok hari.

*******

Sudah berbulan-bulan Fajar mencari keberadaan Senja dan keluarganya, dan lagi-lagi hasilnya tetap nihil. Tak ada petunjuk apa pun mengenai keluarga pak Aryadi. Yang menyebar luas malah tentang kasus korupsi pak Aryadi.

Sampai akhirnya Fajar berputus asa. Ia membuka ponsel dan mencari kontak Senja kemudian meneleponnya. Fajar berharap Senja akan mengangkatnya untuk kali ini saja.

"Nomor yang anda tuju sed--"

Tut

Lagi-lagi sama. Fajar langsung mematikan ponselnya dan menggeser-geser kontak dengan murung. Dia tak tahu harus berbuat apa lagi selain meminta pertolongan-Nya agar memberi petunjuk.
Sampai akhirnya Fajar menemukan kontak Pak Mamat—sopir pribadi keluarga Senja.

"Bego. Kenapa baru ke pikiran sekarang," umpat Fajar pada dirinya sendiri. Beruntung waktu itu Fajar sempat menyimpan nomor pak Mamat karena saat itu dia pernah minta tolong buat menjemput Senja saat ia lagi sibuk latihan turnamen basket.

Tanpa babibu Fajar menelepon pak Mamat.

Tutt tutt

Nada sambung terhubung.

"Halo, iya ada apa den?" tanya pak Mamat dari balik telepon.

“Pak, bapak tahu Senja di mana?” tanya Fajar to the poin.
"Anu den, sebenarnya...." Pak Mamat masih ragu-ragu untuk memberitahu hal yang sebenarnya terjadi.

"Sebenarnya apa pak? Senja kenapa, pak?"

Terdengar desahan napas panjang dari balik telepon. "Nyonya Sahara membawa non Senja ke rumah sakit jiwa, den."

Deg!

Fajar diam sejenak, mencoba memahami penjelasan pak Mamat dengan benar. Apa dia tak salah dengar? Rumah sakit jiwa?

Kaget? Tentu saja. Fajar tak menyangka jika kondisi kekasihnya separah ini hingga dilarikan di rumah sakit jiwa. Fajar menyesal karena disaat-saat seperti ini ia tidak berada di samping gadis kecilnya itu.

Fajar mencoba tenang agar mendapat informasi dari pak Mamat. "Rumah sakit mana pak?"

"Rumah Sakit Cempaka, den."

"Baik pak, saya tutup dulu. Terima kasih informasinya."
“Iya den, sama-sama.”

Tut

Sambungan terputus. Fajar mengepalkan ponselnya, rahangnya mulai mengeras menahan amarah. Ia marah dengan dirinya sendiri karena Fajar bukan sahabat sekaligus pacar yang baik untuk Senja.

Arrghh!

Fajar menghantam cermin di kamarnya hingga serpihan kaca berserakan di lantai. Tak hanya itu, ia juga melemparkan berang-barangnya ke sembarang tempat. Fajar kesal, mengapa ia sebodoh ini Baru mengetahui kondisi Senja? Fajar tak bisa membayangkan wajah sedih penuh luka yang mendalam pada gadisnya saat dia tidak di samping gadis itu

"Astagfirullah. Ada apa Jar?" tanya Saras saat mendapati putranya yang terlihat kacau. Ia kemudian mendekati anaknya dan mengusap punggung Fajar.

"Ada apa, nak?" ucap Saras lembut.

"Se... Senja di rumah sakit jiwa."

Saras terkejut mendengar berita ini. Ia menatap Fajar dengan khawatir. Saras tahu rasa sayang Fajar yang ingin selalu menjaga dan melindungi Senja. Yang Saras lakukan sebagai seorang ibu hanya menepuk pundak putranya, memberi ketenangan di setiap tepukan itu. "Kamu tenangi diri dulu, besok samperi Senja ke sana," ucap Saras memberi nasihat.

Fajar menatap mamanya lalu memeluk wanita yang melahirkannya itu. "Iya ma, makasih."

Fajar untuk Senja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang