#1: EYES

56 5 2
                                    

Ada sesuatu yang kurindukan di balik matanya. Mata itu bersinar saat tersenyum menatapku. Mungkin, betapa mudah baginya mengerti apa yang kurasakan saat memandangnya.

Aku ingin menjadi matanya. Memahami bagaimana caranya memandang. Sesekali merasakan caranya berbicara lewat tatapan. Lalu, mengartikan makna di balik matanya

Hei paragraf... Aku menyukai sepasang mata coklatnya.

#Minggu pertama Februari, 2011.

"Kamu tahu, aku masih ingat tentang kita," kataku sembari menyandarkan punggungku ke dinding.

Rudi mengikuti caraku menyandarkan punggungnya pada dinding tepat di hadapanku. Kami saling berhadapan sekarang. Kemudian dia melipat kedua kakinya dan melingkari tangannya di lutut. "Ingat apa?"

Aku menatap ke arah lapangan, di telingaku terngiang-ngiang celotehan yang datang dari masa lalu dan kenangan yang tidak akan pernah bisa kulupakan. "Hmm, apa ya? Semuanya, kurasa."

"Seperti apa?"

"Seperti... seperti pertama kali kita bertemu?" ucapku lebih mirip sebuah pertanyaan. Kemudian aku tersenyum, rona merah menyebar di wajahku. "Aku juga ingat pertama kali kita ngobrol di Whatsapp. Kamu menginterogasi tentang kedekatanku dengan Ade Nugraha. Kemudian aku menggodamu dengan Kesha. Konyol banget kan?"

Kami tertawa bersama. "Ya. Aku ingat bagian itu. Aku yang mengirimimu pesan pertama kali, kan?"

"Yep. Aku bahkan masih menyimpan pesan itu sebagai bukti. Nih, lihat!" kataku mengangguk. "Ternyata diam-diam, kamu menyimpan nomor hape-ku. Iiihhh... seram banget," candaku.

"Emangnya kenapa?" tanyanya, kedua alisnya berkerut, ujung bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman kecil.

"Nggak tahu sih. Kupikir, kamu nggak akan tertarik padaku. Atau bahkan tidak peduli tentangku... dan ketika kutahu kamu menyimpan nomor hape-ku. Wow, padahal aku tidak pernah memberinya pada siapapun, lho.

"Aku mulai menyukaimu sejak pertama kali bertemu, tapi aku tidak pernah membencimu, Al," katanya lembut. "Kalo nggak salah, kamu bilang tadi aku tidak peduli padamu? Aku peduli, makanya kutanyakan kedekatanmu dengan Ade," lanjutnya sembari mengosok-gosok hidungnya, merasa tidak nyaman menyebut nama sahabatnya.

"Mungkin, pada awalnya aku tidak menyukaimu, tapi kamu juga tidak menyukaiku, kan?" godanya.

Aku memutar bola mata dan tersenyum.

Dan sekarang, dia duduk lebih dekat ke arahku. Di sampingku, bahu kami nyaris bersentuhan, tapi dia masih menjaga jarak di antara kami. Dia menghormatiku dan aku menghargai itu.

"Kamu tahu, sebenarnya aku senang berbicara denganmu," kataku sembari tertawa kecil. "Bahkan, aku sudah menyimpan kenangan itu sejak pertama kita bertemu."

Dia terlihat terkejut. Matanya membelalak saat memalingkan kepalanya ke arahku. "Benarkah? Semuanya? Ternyata kamu lebih konyol dariku."

"Ya, sungguh. Agak bodoh, tapi... kurasa aku tidak bisa melupakannya. Karena...," kataku sambil mengendik bahu. "Karena suatu hari nanti, semuanya akan penting bagiku," lanjutku, memutar bola mataku untuk menyembunyikan rona di wajahku. "Kurasa aku benar," ucapku hampir tak terdengar.

Bila sudah seperti itu, dia akan tersenyum, merasa lucu dengan tingkahku. "Terima kasih," ucapnya sembari menatap ke lapangan.

"Untuk apa?" tanyaku menunduk.

Dia mengendik bahu, berusaha tampak acuh tak acuh namun masih mencari sebuah jawaban. "Karena... kamu. Kamu selalu menjadi pacar yang baik dan peduli padaku. Kamu tidak pernah ragu menunjukkan betapa besar kamu mencintaiku. Tidak sepertiku," dia terkekeh. "Aku hanya... aku tidak akan pernah bisa menunjukkan kepadamu betapa aku mencintaimu dan..." dia menghela nafas, masih mengunci pandangan ke lapangan itu. "Aku tidak tahu. Aku takut, suatu hari nanti kamu akan menghilang karena... Kamu tahu kan? Aku hanya ingin melindungimu dari apapun."

Aku tersenyum mendengarnya. Saat aku menatap wajahnya, sudut mataku menangkap suatu gerakan melayang ke arahku. Sebuah bola yang di tendang seseorang dari lapangan melesat ke arahku dan akan membentur kepalaku dalam hitungan detik.

Aku tidak memiliki jeda untuk berpikir ataupun merasa panik, karena bola itu semakin dekat menampar kepalaku. Untuk sesaat, aku menutup mataku, menunggu redanya rasa sakit yang tak kunjung kurasakan di kepalaku. Perlahan, aku membuka mata, terlihat tangannya menampir bola dari hadapanku, melindungiku dari apapun, termasuk bola yang hampir menyerangku.

Dia tampak terpana dengan apa yang baru saja terjadi. Sama sepertiku. Kami berdua saling memandang sebelum dia menurunkan lengannya dengan gugup, lalu kami berdua mulai tertawa, seolah pengalaman mendekati mautku seperti sebuah lelucon yang patut ditertawakan. Ya, dalam beberapa hal, mungkin begitu.

Aku meraih tangannya, menggenggam erat ketika tawa kami mereda. "Kamu baik-baik saja kan?"

Dia tersenyum begitu lembut, mata cokelatnya menatap jauh ke mata hitamku. Tangannya tanpa sadar meraih tanganku, lalu kami berjalan di antara bunga-bunga kecil berwarna kuning yang berayun-ayun karena terpaan angin. Dia tidak perlu mengatakan apapun. Dan sejak saat itu aku tahu, dia akan selalu melindungiku. Dari apapun.

******

*If you liked this chapter, please consider giving it a vote. And thank the people who have voted. also leave a comment how is your feel about my story.

*Thanks for my readers who always read my story. You are mean so much for me. I hope you are enjoy it. If you had something to say, please leave a comment.

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang