#10: HATE

9 0 0
                                    

Kata orang, sangat tipis perbedaan antara cinta dan benci. Tapi, aku tidak pernah setuju dengan pendapat mereka.

Pertama kali aku melihatnya, aku membencinya dengan segenap jiwa dan ragaku. Dia sangat... menyebalkan. Dan pada akhirnya, aku menyerah dengan segala kekonyolannya.

Tapi ada sesuatu yang menarikku, percikan kecil di antara nyala kebencian yang membara—atau seperti cahaya yang berkilau di antara kebencian.

Dan karena kebencianku padanya, perlahan aku mulai memperhatikannya. Aku selalu tersenyum setiap kali melihatnya tertawa. Bahkan hatiku bergemuruh saat menyebut namanya.

Dan benar kata orang, sangat tipis perbedaan antara cinta and benci.

#Desember, 2009

"WOYY! Pake mata kalo jalan!

Reflek aku melangkah mundur, lalu mendongak ke sepasang mata coklat yang memelototi mata hitamku. Aku memasang tampang cemberut padanya. "Mana matamu?"

"Jelas-jelas kau yang salah, jalan kog nunduk," balasnya sembari memperhatikanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tetiba alisnya terangkat saat membaca nama sekolahku. "Ah, Female Internasional School."

Aku kembali memasang tampang jutek dan ganas. Aku benci caranya menyebutkan nama sekolahku. Dan kebencianku bertambah setelah aku mengenali seragamnya. "Ohh, Insan Cendekia Senior High School. Keren juga."

Female International School dan Insan Cendekia Senior High School, keduanya merupakan sekolah negeri yang terletak di pinggiran kota kecil dan jauh dari satu sama lain. Female International School merupakan sekolah non-asrama khusus perempuan sedangkan Insan Cendekia Senior High School, sekolah asrama khusus anak laki-laki.

Lelaki itu menyeringai. Tapi entah bagaimana, senyum itu terlihat lebih menyenangkan. "Oops, Sorry."

Aku menyipitkan mataku padanya, sebelum menggelengkan kepala dan berlalu dari hadapannya. Tetiba, dia menghalangi langkahku. "Menyingkirlah di hadapanku!"

Dia tampak seolah-olah tidak menyadari kesengajaannya memblokir jalan yang kulalui. Lalu dia memiringkan kepalanya ke samping. "Kalo aku nggak mau, gimana?"

"Aku harus pergi ke suatu tempat dan kau menghalangi jalanku."

Aku ke sisi lain, dan dia malah mengikuti langkahku. Terus berulang, hingga aku menyerah dan mendesah putus asa.

"Apa maumu?"

Dia membelalak matanya seolah terkejut. "Aku? Oh, tidak ada," jawabnya dengan sinis. "Hanya ingin tahu apa yang sedang dilakukan oleh seorang putri dari Female International School di sini.

Aku ternganga. "Ada masalah dengan kami?"

"Tidak," katanya sambil mengangkat alisnya.

"Dan kau sedang bermasalah denganku?"

"Mungkin," katanya acuh tak acuh.

Aku menatapnya dengan kesal. Siapa sih anak ini dan berani sekali dia mengatakan itu padaku. "Oke. Hei bocah, dengar ya—"

"Aku? Bocah?" Kekehnya. "Kau bahkan tidak lebih tinggi dari daguku."

Aku merengut lalu berkacak pingang. "Menyingkirlah atau—"

"Siapa namamu?" Dia memotong kalimatku.

"Aku akan—APA??"

"Kau tuli ya?" katanya dengan cemberut, pura-pura terlihat prihatin. "Aku tanya siapa namamu?"

Aku bingung dengan pertanyaannya. "Kenapa aku harus memberitahumu?"

"Umm, karena aku bertanya padamu," jawabnya dengan nada sinis. "Ku pikir kau tidak setuli itu, atau aku harus mengulang lagi pertanyaannya?"

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang