#9: MEMORIES

10 1 0
                                    

Dia telah melupakan semua kenangan itu. Bukan karena dia amnesia... hanya saja dia jarang mengingat hal-hal yang berhubungan denganku.

Itu menyedihkan. Dia lupa hal-hal kecil yang dilakukannya, lirik lagu yang dimainkannya atau kata-kata yang membuatku jatuh cinta padanya.

Semakin lama aku semakin gila, karena hanya aku satu-satunya yang masih menyimpan rapat kenangan itu. Tapi sungguh aku tidak keberatan menceritakan kembali kenangan ini dengan perlahan-lahan agar dia kembali jatuh cinta padaku.

#Awal Maret, 2011

Aku dan Rudi berbaring di atas rumput belakang rumahku. Kami sedang menatap senja yang mulai terlihat jelas setelah matahari tenggelam. Deru mobil dari kejauhan sesekali terdengar, lalu hening, digantikan oleh bunyi jangkrik yang menghinggapi malam.

Rudi menekan kepalanya di bawah lengan dan sebelahnya lagi memainkan rumput dengan jari-jarinya. Aku mulai terkikik kekanak-kanakan ketika jari-jarinya sengaja menyelinap dan mengelitikku, lalu sebuah pukulan ringan mengenai tangannya.

"Kau tahu, aku benci digelitik."

"Apa sih yang nggak kau benci," celotehnya.

Terdengar suara berdengung dari hidungku. "Ya. Aku juga membencimu."

"Benarkah?"

"Yep. Aku dulu sangat membencimu. Sangat dan sangat. Tapi kemudian kau berubah menjadi—"

"Pria yang jauh lebih seksi dari yang kau pikirkan? Pria yang benar-benar keren, iya kan?" godanya dengan nakal.

"Umm, bisa jadi."

Dia menyeringai. "Oh, kau sangat mencintaiku, Al. Akui saja."

Aku terdiam lama, sebelum berkata pelan tanpa memandangnya. "Mungkin."

Dan seperti itu saja kebiasaan kami, duduk menunggu matahari terbenam sambil berbincang tentang segalanya—PR yang belum selesai, ujian besok pagi, hari-hari di sekolah dan rencana akhir pekan. Kami selalu melakukannya setiap akhir pekan hingga menjadi rutinitas yang tidak pernah kami lewatkan.

Tiba-tiba, Rudi menatap wajahku lekat-lekat. "Aku mencintaimu, Al."

Aku tersenyum lebar dan memutar tubuh, menghadapnya. Perlahan-lahan Rudi mendekat ke arahku. Wajahnya hanya sejengkal dari ujung hidungku. Dia masih menatapku. Menit berikutnya tangannya bergerak perlahan, meraih pinggangku dengan sedikit ragu, lalu menarik ke arahnya. Aku tidak melakukan penolakan. Tubuhku bergerak sendiri mendekatinya. Lalu, aku mendekap tubuhnya. Harum tubuhnya menelusup ke lubang hidungku. Kepalanya terbenam di antara dada dan leherku. Aku mampu mendengar detak jantungnya pada jantungku.

Rudi mendongak, kepalanya menyembul dari balik pelukanku. Dia menatapku lagi. Tatapan itu seolah menyedot jiwaku hingga terjerumus ke dalam terjal di balik matanya. Rudi mendekatkan wajahnya kepadaku, lalu mataku terpejam. Dia menciumku dengan ciuman yang sangat panjang.

Aku memejamkan mata sembari membayangkan celotehan dari masa lalu. Pikiranku membawaku kembali ke hari-hari di mana pertama kali kami bertemu. Hatiku seketika menjadi hangat, tetapi juga perih. Senyumku menguap. Seharusnya aku tidak pernah memulai hubungan ini.

"Ingat nggak, pertama kali aku bilang kalau aku tuh cinta sama kamu?" Tanya Rudi dengan lembut sembari memejamkan matanya. Dan aku bisa membayangkan senyuman kecil di sudut bibirnya.

"Mm-hm," gumamku. "Kau ingat kan?"

Setiap kali, aku memikirkan tentang kejadian itu. Seperti ada sesuatu yang menghantam dadaku dengan rasa sakit. Sesuatu yang tidak pernah bisa kulupakan di benakku. Tapi, aku menyimpannya untuk diriku sendiri.

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang