#3: FINGERS

22 2 0
                                    

Seperti ada kekuatan sihir pada jari-jarinya.

Aku terpana menatap jari-jarinya menari-nari di atas senar gitar. Sangat indah — seindah musik yang dimainkannya.

Dan ketika dia menyentuhnya, memetik senar satu per satu dengan jari-jarinya untuk menciptakan sebuah nada yang mampu mewakili perasaanku saat itu. Aku tidak bisa menahan diri, seperti ada getaran listrik tiba-tiba mengalir di nadiku.

#Pertengahan Februari, 2011

"Sudah siap untuk hari ini?" tanyanya, mengambil gitar dari tanganku, lalu memainkan sebuah lagu untukku.

"Ya," kataku, mengendik bahu, sebelum memberinya senyum terima kasih. Lagipula, dia baru saja menyelinap keluar dari sekolah asrama yang jaraknya hampir setengah jam untuk... mengajariku cara bermain gitar.

Rudi menuntunku ke sebuah bangku di belakang gedung sekolahku yang terletak tepat di bawah pohon. Kami duduk di sana, lalu dia mengeluarkan gitar dari tasnya, meletakkannya dengan lembut di atas pangkuan.

"Woahhh," ucapnya. "Cantik, kan? Dan belum pernah tersentuh oleh siapapun."

Aku menggosok-gosok leherku dengan malu-malu. "Yah... aku tidak tahu persis bagaimana cara memainkannya..."

"Karena itu mengapa kita di sini." Rudi tertawa sebelum tersenyum padaku. "Sebelum kita mulai pelajaran yang sebenarnya. Perhatikan ini!"

Aku menatapnya dan dia tersenyum ketika mulai memainkan kembali gitarnya, bersiap-siap untuk memamerkan keahliannya.

Dia memetik not pertama dan dengan mudah aku mengenali nada itu. Seluruh wajahku seperti menyala ketika aku mulai bernyanyi. Mataku terkunci pada jari-jarinya yang menari-nari di sekitar senar, menciptakan melodi yang paling indah yang pernah kudengar — yah, mungkin aku sedikit melebih-lebihkan, tapi itu benar-benar indah — dan aku hanya bisa menatapnya dengan kagum.

Rasanya seperti mimpi berada di sini, menyanyikan lagu favoritku bersama dengan sepenuh hati. Dia tersenyum sepanjang akhir lagu itu, matanya tertutup seolah-olah dia sangat menghayati isi dari lagu yang dimainkannya. Dan di akhir lagu, dia membuka kembali matanya, menatap dan tersenyum kepadaku. Aku pun melakukan hal yang sama ketika tiba saatnya giliranku menyanyikan bagian solo; aku memejamkan mata, menikmati musi, dan meresapi ritme jantungku berdebar di jarak yang sangat dekat di antara kami, dan aku menikmati caranya menatapku sambil tersenyum. "Lagu ni untukmu," ucapnya lembut dan dalam.

Di bait terakhir dari lagu itu, aku merasa sangat emosional, ada sesuatu yang berputar–putar dalam diriku.

Rudi dengan lembut meraih tanganku untuk memegang gitar. "Sekarang giliranmu," katanya, mengedip padaku. Aku terkekeh sambil meletakkan gitar di pangkuanku.

"Oke. Tunjukkan padaku, Babe."

Dia mulai mengoceh tentang cara bermain gitar, tentang senar mana aku harus meletakan jarik, atau bagaimana memetik dan memilih senar untuk membuat melodi, dan seterusnya dan seterusnya. Dengan lembut dia menyentuh jariku satu per satu lalu di tempatkannya di atas fret kanan.

"Sebagai permulaan, ini adalah kunci C. Dan biasanya digunakan untuk lagu yang kita tahu," katanya lembut, mulutnya hanya beberapa senti dari telingaku.

"Oke," bisikku, mengangguk padanya.

"Dan...," dia kembali menyentuh jariku, meletakkannya di tempat yang berbeda, "ini adalah kunci G."

Aku mengangguk ketika dia memetik senar itu.

"Ini yang paling mudah," katanya ketika dia sekali lagi meletakkan dua jariku di sebelah kanan. "Ini minor. Perhatikan! Mudahkan?

"Mmm," helaku kebingungan, mataku menatap jari-jarinya. Dan kemudian aku mendogak ke atas. "Bisakah kita lewati semua hal ini dan mengajariku cara memainkan lagu Your Guardian Angel?"

Rudi menatapku dengan datar sebelum mengeryit keningnya. "Tidak, Al. Bagaimana kamu memainkan lagu itu tanpa tahu chords-nya. Kamu sangat konyol."

Aku mendengus kesal, tapi dia terus memperkenalkanku pada chords yang lainnya. Aku hampir tidak bisa mengingatnya. Pikiranku terasa kabur, aku tidak bisa berkonsentrasi untuk mengingat sebanyak itu. Ketika tangannya menyentuh tanganku seperti ada aliran listrik yang menyengat kulitku. Wajahnya sangat dekat dengan pipiku, aku bahkan bisa merasakan napasnya yang lembut.

Sekitar setengah jam kemudian, jari-jariku kaku, dan ujungnya terasa sakit sekali. Rudi hanya tertawa ketika aku mengeluh. "Kamu akan segera terbiasa, santai saja."

Tapi aku memasang wajah memelas terbaikku. Mengharapkan permohonanku segera dikabulkan. Dan dia menghela napas, meraih tanganku lalu menggosok seluruh telapak tanganku dengan kedua telapak tangannya.

"Masih sakit?" tanyanya, mengangkat alis sambil mengodaku.

"Sedikit," jawabku datar

Dia membalik telapak tanganku, lalu menelusuri dengan jari-jarinya. Tiba-tiba dia meletakkan tanganku ke wajahnya sambil memicingkan matanya.

"Apakah kamu... menulis namaku di ujung jarimu?" tanyanya dengan ragu.

Mataku melebar dan aku bisa merasakan wajahku memanas karena malu, lalu aku segera menarik tanganku dari cengkeramannya. Dan tidak lama kemudian tanganku terasa dingin tanpa sentuhannya.

Kedengarnnya gila, tapi kau akan mengerti jika kau merasakan hal yang sama sepertiku.

"Y — yah. Aku lagi bosan saat itu," jawabku dengan lemas, mulai menghapus tulisan itu di jari-jariku dengan ujung bajuku.

"Tidak, tidak, tidak," Rudi menghentikanku. "Aku suka itu. Terlihat imut," katanya, mengedip mata padaku.

Aku memukul bahunya dengan manja. "Kamu nggak akan mengejekku nanti kan?"

"Enggak," jawabnya sembari memasukkan gitarnya dalam tas.

Rudi meraih tanganku untuk berdiri dan berjalan menuju gerbang depan sekolah, tempat beberapa anak-anak masih berkeliaran.

"Sampai nanti!" ucapnya ketika mobil ibuku muncul, memasukkan tangan kirinya ke dalam saku. "Aku akan menghubungimu nanti malam."

"Tentu," jawabku dengan sebuah senyuman kecil. "Terima kasih untuk hari ini." Meskipun aku nyaris tidak belajar apa-apa.

Dia mengangguk, menyeringai padaku sebelum tiba-tiba membungkuk untuk mencium pipiku.

Aku merasa pipiku memerah, dan kulihat wajahnya juga agak merah muda. Aku tidak bisa menemukan sepatah katapun untuknya — semua kata telah bercampur adu di dalam kepalaku seperti kekacauan yang terabaikan — dan yang kukatakan hanyalah sederhana, "sampai jumpa lagi."

Dan saat aku berbalik berjalan menuju mobil, aku melihat telapak tanganku, menelusuri jari di atas huruf namanya dan kemudian aku tersenyum pada diriku sendiri.

***********

*If you liked this chapter, please consider giving it a vote. And thank the people who have voted. also leave a comment how is your feel about my story.

*Thanks for my readers who always read my story. You are mean so much for me. I hope you are enjoy it. If you had something to say, please leave a comment

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang