#4: HANDS

20 2 0
                                    

Pertama kali tangannya menyentuh tanganku, menggenggamnya dengan lembut, aku merasa seperti jutaan kupu-kupu berterbangan di kepalaku.

Tangannya tidak begitu lembut dan tidak begitu hangat. Ujung jarinya agak kepalan karena ribuan kali menyentuh senar gitar, dan telapak tangannya terasa dingin tiap kali aku menyentuhnya.

Sentuhannya tegas tapi lembut. Entah bagaimana dia mampu membuatku seperti terbang melintasi tujuh langit. Cengkeramannya menyakinkanku bahwa dia ada di sana untukku, dan itu membuatku tersenyum saat membayangkan wajahnya.

#Awal Oktober, 2010

"Ecieee... yang mau merayakan hari jadinya! So, are you ready for your first official date?" Sepupuku, Nayla bertanya melalui telepon.

Aku mendengus, memposisikan telepon di telinga kanan ketika aku mencoba untuk membuka dompet. "Iya nih. Tapi kamu tahu nggak? kami berbeda sekolah lho. Sekolah hanya mengizinkannya keluar pada akhir pekan. Dua kali dalam sebulan. Kami tidak benar-benar... menghabiskan banyak waktu bersama. Sehingga setiap momen itu sangat istimewa bagiku."

"Kalian pasangan paling aneh yang pernah kukenal," katanya geli. "Tunggu. Jangan bilang... kalian belum pernah ciuman?"

Pipiku bersemu merah. Aku tidak suka membahas tentang... itu. Terutama kepada sepupuku. Apalagi Nayla, dia selalu berhasil kencan hampir setengah siswa popular di sekolahnya. Mungkin. "Kami lebih suka tersenyum, tertawa, dan berbicara. Apakah itu aneh?"

"Really??" Pekik Nayla, tapi aku bisa merasakan tawa menggelegak di tenggorokannya. "I can't believe this!"

Aku memutar mataku dengan kesal. Sejujurnya, aku bahkan tidak mengerti bagaimana berciuman menjadi suatu keharusan ketika berkencan dengan seseorang. Dan kemudian aku mengerang ketika melihat jam di dinding. "Yah, Nayla. By the way, Aku senang berbicara denganmu. But I must go. Aku ada acara malam ini, so... bye!"

Aku menutup telepon sebelum Nayla berkomentar lebih banyak lagi, mengambil dompetku, mencelupkan kaki ke sepatu flatku, lalu bergegas turun ke lantai bawah. Di ujung pintu, aku mendengar bunyi ketukan. Detak jantungku bertambah cepat. Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas dalam-dalam dan menetralkan wajahku dari kegembiraan yang berlebihan. Seperti cekikikan sendiri atau serangai konyol. Atau apapun yang menempel pada hal-hal bodoh yang mungkin kulakukan.

Setelah aku menenangkan diri, aku berjalan dengan kalem menuju pintu depan, dan membukanya dengan tenang. Rudi berdiri di sana, matanya menunduk ke bawah, lalu dia mendongak. Wajahnya bersemu merah dengan sebuah senyum kecil, seolah-olah dia gugup. Dan kedua tangannya tersembunyi di belakang punggungnya.

"Hai," sapaku malu-malu.

Dia tidak mengatakan apa-apa dan ketika aku mulai khawatir apakah aku telah mengatakan hal yang salah, dia menunjukkan sesuatu yang tersembunyi di belakang punggungnya. Buket bunga. Atau lebih tepatnya, mawar. Merah, putih, dan merah muda – sebagian besar berwarna putih. Kesukaanku.

Dia mengulurkan bunga itu, dan napasku tertahan saat tanganku bergerak untuk mengambilnya. "Thanks," kataku, mengagumi bunga-bunga itu sebelum menatap dan memberinya senyum lebar. "I love them."

Dia menyeringai saat aku tersenyum padanya. Dia juga merasa lega karena aku menyukai pemberiannya. "Good," katanya mendesah lega. "Orang tuamu di rumah?"

"Yep."

Aku mengangkat alis dengan penuh curiga. "Kenapa?" Bukankah terlalu dini untuk bertemu dengan orang tuaku?" tanyaku. Lalu dia hanya tertawa. Sambil memegang buket bunga, akumemberi isyarat untuk mempersilahkannya masuk. "Aku akan menyimpan bunga-bunga ini dulu. Masuklah!"

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang