#2: SMILE

31 2 0
                                    

Senyumnya masih menawan seperti dulu, bahkan ketika aku dan dia bertemu lagi, senyumnya masih menawan. Senyum itu mampu membuatku bangun bagi hanya untuk memastikan dia masih hidup di belahan bumi yang sama denganku.

Aku suka membayangkan caranya tersenyum, antara setengah tersenyum dan setengah menyeringai. Sudut bibirnya melengkung ke kiri dengan sorotan tajam dari matanya. Lalu senyum itu merekah, berganti oleh tawa. Indah. Bagaikan senja yang berwarna jingga.

Dan

Aku tertawan pada senyum manisnya sejak pertama kali bertemu.

#Pertengahan Januari, 2011

Aku mengerut bibirku, manyun, dan kesal, menunggu sendirian di ujung pintu. Angin dingin di musim dingin menerpaku, mengigit kulitku dengan marah. Aku mengencangkan jaket di tubuhku, sedikit mengigil. Di ujung bangunan ini, aku melihat dia berjalan dari kerumunan ke arahku.

"Hai," katanya terengah-engah. Dia berdiri di sampingku beberapa saat sebelum berjalan melewatiku dan duduk di bangku kayu sebelah pintu, membuka ritsleting jaketnya.

"Hai," jawabku, bergeser dari rangka pintu tempatku bersandar lalu mengambil alih duduk di sebelahnya.

"Kamu terlihat capek?"

Dia mengendik bahu. "Hmm," lalu menghela nafas, menyeka dahinya meskipun tidak berkeringat. "Sorry, kami kalah. Dan maaf, aku mengecewakanmu. Maksudku — aku tahu kamu benci sepak bola tapi kamu datang jauh-jauh ke sini untukku. Untuk mendukung tim sekolahku. Dan seharusnya kamu tidak perlu — "

"Hei, tidak apa-apa, Rud. Bukan salahmu, hanya saja badan mereka seperti raksasa." Aku melirik dengan kesal ke gymnasium, di mana semua orang — setiap orang dari tim sepakbola lawan dan pendukung mereka bersorak. Kekesalanku mereda seketika saat dia menatap ke dalam mataku.

Dia tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. "Ya. Kami tidak menyangka mereka akan seperti itu..." dia terdiam sejenak sambil mengatur napas, lalu mengendik bahu," Sangat kuat."

"Kamu juga kuat," godaku. "Hanya saja mereka yang lebih kuat."

Aku berdiri dan mengulurkan tangan padanya. Dia menatap sejenak sebelum mengembalikan pandangannya ke mataku dan tersenyum ketika meraih tanganku. Lalu menyelipkan jari-jarinya di antara jari-jariku kemudian kami berjalan berdampingan. Tetapi, meskipun dia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, aku bisa merasakan pincang di langkahnya.

"Ada apa?" tanyaku, menghentikan langkah kami.

Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak ada, Al. Ayo terus berjalan."

Tapi aku mengabaikannya. "Kamu terluka? Bagian mana?" tanyaku dengan cemas, tetapi dia hanya tertawa.

"Santai. Tidak apa-apa. Aku rasa si rambut pirang itu tidak sengaja menendang kakiku, tapi tidak apa-apa. Hanya sedikit memar tidak lebih."

Aku merasa tidak lega dengan penjelasannya. Menurutku, itu bukan memar biasa. Ucapannya membuatku sangat cemas. "Tidak," kataku, menyeretnya kembali ke bangku. "Kamu terluka, Rud. Coba kulihat!"

Dia menggelengkan kepalanya. Aku menatapnya datar. Akhirnya, dia menghela nafas lelah dan menunjukkan kaki kanannya, sebelum membungkuk dan perlahan-lahan menarik kaus kaki yang menutupi kulitnya.

Perlahan, aku mengusap kulitnya yang memar. Sangat pelan, tetapi aku khawatir akan menyakitinya. Dan pada saat yang sama, aku mencoba menyembunyikan desiran aliran darahku saat menyentuhnya. "Sakit nggak?"

"Sedikit," akuinya.

"Sekarang gimana?" kataku sembari mengusap-usap memarnya.

Ekspresi wajahnya menyiratkan rasa kecewa. "Tidak, tidak. Tidak masalah. Sudah tidak terlalu sakit, sungguh. Aku baik-baik saja."

Akhirnya aku mengangguk. Kami berjalan kembali ke gerbang depan, menjauhi stadion, dan pikiranku tidak bisa tenang. Aku terus memikirkan tentangnya, tentang seberapa besar rasa sakit yang dideritanya, bagaimana mungkin cedera yang di alaminya membuatku begitu cemas.

"Kenapa, Al?" tanyanya, hanya dia satu-satunya orang yang memanggil namaku semerdu melodi.

"Aku tersenyum. "Kemarilah."

Rudi membungkuk perlahan. Aku menjinjit, menyeimbanginya dan mendekati mulut ke telinganya lalu berbisik pelan. "I love you."

Ketika aku melirik dan melihat senyumnya yang miring, nafasku tercekat.

Saat itu, aku sadar alasanku mencintainya.

*****

*If you liked this chapter, please consider giving it a vote. And thank the people who have voted. also leave a comment how is your feel about my story.

*Thanks for my readers who always read my story. You are mean so much for me. I hope you are enjoy it. If you had something to say, please leave a comment

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang