#7 : DREAMS

10 2 1
                                    

Dia menggenggam erat mimpinya. Bertumpu pada satu harapan besar. Mengambarkannya dengan jelas, seolah mereka hanya berjarak satu sentimeter jauhnya. Dia begitu bertekad untuk meraiih mimpinya, menjadi seorang pemain sepak bola dunia.

Sesekali, aku seolah-olah terabaikan olehnya. Mimpinya begitu besar di bandingkan denganku. Meskipun aku menyadari itu, tetapi aku bahagia dengan melihatnya berlari dan mengerjar bola lalu menendang dengan penuh kemenangan.

#Awal November, 2010

"Apa mimpimu ketika dewasa nanti?" Aku bisa mendengar Rudi bersenandung di balik telepon, memikirkan jawaban dari pertanyaanku.

Aku berpindah dari kursi ke tempat tidur sambil berbaring telentang, menatap langit-langit kamar. Jam bergeser ke pukul empat sore dan aku baru satu jam tiba di rumah, sekitar setengah jam yang lalu, pada saat yang sama kelas Rudi berakhir dan dia diizinkan untuk kembali ke kamar asramanya. Aku menghubunginya setelah menggantikan seragam dan kami mulai berbicara di balik telepon seperti biasa yang kami lakukan setiap hari.

"Kog diem?" tanyaku lagi setelah beberapa saat hening berlalu.

"Hmmm. Sedang kupikirkan," katanya pelan sambil tertawa kecil di akhir kalimat.

"Ayolah! Itu pertanyaan sederhana; kau ingin menjadi apa? Mimpimu? Harapanmu di masa depan?

"Menikahimu." Dan seperti biasa, aku bisa mendengar tawanya terkekeh-kekeh. "Yah, itu salah satunya."

"Ruudd," rengekku, masih setengah terkekeh. "Aku ingin menjadi penulis. Seorang penulis. Seperti J.K Rowling, Suzanne Collins, Sarah Dessen –"

"Mereka siapa? Aku nggak kenal nama-nama itu."

Aku memutar bola mataku. "Seperti mereka, seorang penulis terkenal di dunia. Aku ingin menulis buku dan menerbitkannya lalu orang lain membacanya dan mengubah dunia mereka dengan apa yang kutulis. Aku ingin bukuku menjadi sangat populer di seluruh dunia sehingga mereka harus menerjemahkannya ke berbagai bahasa asing. Semua orang di dunia akan jatuh cinta pada bukuku. Itu mimpi terbesarku."

Seandainya dia bersamaku di sini, mungkin aku bisa melihat senyum lembut menghias bibirnya. "Aku yakin kau akan mnejadi penulis hebat."

"Aku tahu itu," dengusku dengan arogan, namun sedikit bercanda, lalu terawa. "So, bagaimana denganmu? Kau ingin menjadi apa?"

Jeda. Lalu kemudian dia bersuara, "Seorang pemain sepak bola."

"Benarkah?" tanyaku sambil tersenyum. Aku bisa menebak, tetapi aku hanya ingin mendengar jawaban darinya.

Dia terkekeh. "Yah." Aku mendengar bunyi gedebuk yang lembut bersamaan dengan desahannya. Dan aku menduga dia mungkin telah menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, berbaring sepertiku. "Itu yang membuatku bahagia, Al. membangun strategi bersama tim, berada di tegah lapangan, mencetak gol, menonton dan mendengar teriakan penonton, memenangkan pertandingan. Itu gila, bukan? Tapi itu yang ingin kulakukan di sisa hidupku.

Kata-kata terakhir yang dikatakan padaku terasa asing di telingaku. Aku memang tidak memahami semua itu. Aku benci olahraga dengan sepenuh hati dan jiwaku. Aku tidak pernah memperhatikan bagaimana aturan permainan sepak bola. Yang kutahu, sepak bola melibatkan dua tim, satu bola, dan dua gol untuk masing-masing tim, dan setiap tim harus menendang bola ke gawang lawan untuk mencetak gol.

Dia mulai bercerita tentang nama – nama pemain, mengidolakan mereka lalu terobsesi untuk menjadi seperti mereka. Sama sepertinya, aku bahkan tidak kenal dengan nama-nama yang disebutkan olehnya. Jadi, aku hanya memberikan satu atau dua kometar saja. Dan dia terus menerus bercerita tentang mimpinya dengan penuh semangat.

"Aku ingin menceritakan banyak hal kepadamu. Tetapi kau mungkin tidak akan mengerti juga, jadi ya, itu saja. Menjadi pemain sepak bola adalah impian terbesarku."

Aku terkikik. "Wow, luar biasa! Aku yakin. Seratus persen yakin, kau pasti bisa. Dan aku berharap mimpimu menjadi kenyataan."

"Kuharap begitu. Terima kasih, Al, Aku berharap impianmu terwujud juga."

Seorang penulis terkenal di seluruh dunia, dan seorang pemain sepak bola internasional. Kedengarannya seperti serasi. Dengan lembut aku terkikik dan mengangguk, meskipun Rudi tidak melihatnya. "Hei Rud?"

"Ya?"

"Bolehkah aku datang ke salah satu pertandingan sepak bolamu suatu hari?" aku bersenandung pelan, tersenyum ketika kubayangkan ekspresi terkejut di wajahnya.

Dia termenung sejenak seolah tidak percaya. Mungkin dia sepenuhnya menyadari betapa aku membenci sepak bola – atau olahraga pada umumnya. "Ya! Ya, tentu saja. Kau bisa datang," jawabnya kegirangan. "Ada pertandingan indoor pada musim dingin nanti. Dan satu lagi, beberapa minggu setelah itu. Jika kau mau, kau boleh datang ke tempat latihanku. Kadang-kadang kami menggunakan stadion kota. Aku tidak akan keberatan jika kau datang.

"Oke, oke," aku tertawa. "Aku akan datang, oke? Aku akan menjadi orang pertama yang berteriak paling keras di antara orang lain.

"Wow! Ya, itu luar biasa. Aku tidak sabar ingin melihatmu di sana." Aku tersenyum sendiri, menikmati suara kegembiraan yang menyelimutinya. "Ngomong-ngomong, aku harus pergi sekarang. Latihanku dimulai pukul sepuluh dan jika terlambat, pelatih mungkin akan mengulitiku hidup-hidup."

"Tentu, Rud. Semoga harimu menyenangkan."

"Yep. Nanti kutelpon lagi. Bye, Al."

Aku tersenyum, "Bye."

REWRITE #11 Reasons Why (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang