7th

1K 83 2
                                    

Sayang sekali, Hyunjin tidak berada di sana ketika Ryujin datang ke Penthouse-nya pada sore hari. Bukan berarti gadis Shin itu mengharapkan sesuatu dari Hyunjin. Ryujin biasanya tidak begitu. Ragu-ragu tentang apa yang harus dia lakukan mengenai ciuman itu, pekerjaannya, belum lagi tentang masa depannya, dia masuk ke ruangan yang digunakan sebagai studio.

Lebih dari lima menit, Ryujin melukis dengan gugup. Hwang Hyunjin tidak nyata untuknya. Meskipun dia juga tidak. Tapi lukisan itu nyata. Hal itu masuk ke dalam otaknya dan mengalir dalam darahnya. Dia harus menyelesaikannya sekarang. Setelah tenggelam dalam pekerjaannya selama berjam-jam, akhirnya kreativitasnya mengalir tanpa sadar sampai matahari tenggelam di balik gedung-gedung bertingkat.

Mrs. Jeongyeon mengaduk sesuatu di mangkuk ketika Ryujin berjalan masuk ke dapur untuk mengambil air. Dapur Hyunjin mengingatkan dia tentang salah satu milik bangsawan Inggris yang besar, dengan peralatan memasak yang mungkin pernah dibuat, tapi bagaimanapun juga tetap nyaman. Dia suka duduk di sana dan ngobrol dengan Mrs. Jeongyeon.

"Kau begitu tenang, aku sampai tidak sadar kau ada di sini!" seru wanita paruh baya itu ramah.

"Aku bekerja keras," tanggap Ryujin, meraih pegangan besar kulkas stainless steel. Mrs. Jeongyeon bersikeras agar Ryujin bersikap seolah di rumahnya sendiri.

Pertama kali dia membuka lemari es, Ryujin terkejut melihat sebuah rak penuh botol soda dingin bersama dengan sepiring keramik china irisan jeruk lemon yang ditutupi plastik.

"Tuan Hyunjin mengatakan padaku kalau soda dengan jeruk lemon adalah minuman favoritmu. Aku berharap mereknya benar," ucap Mrs. Jeongyeon.

Sekarang setiap kali dia membuka lemari es, Ryujin merasakan dorongan hangat yang dia alami ketika pertama kali dia sadar kalau Hyunjin ingat minuman kesukaannya dan menyediakan untuknya sementara dia bekerja. Kasihan sekali, dia memaki diri sendiri sambil mengambil botol.

"Apakah kau ingin makan malam?" tanya Mrs. Jeongyeon, "Tuan Hyunjin tidak makan hari ini, tapi aku bisa membuatkan sesuatu untukmu."

"Tidak, Aku tidak lapar. Terima kasih." Ryujin ragu, tapi kemudian berceletuk, "Jadi Hyunjin ada di kota? Apa nanti dia akan pulang?"

"Ya, dia mengatakan nya tadi pagi. Dia biasanya makan pukul delapan tiga puluh tepat, entah aku yang memasak untuknya atau dia makan dikantor. Hyunjin suka rutinitasnya. Dia selalu seperti itu sejak remaja."

Mrs. Jeongyeon memandang Ryujin, "Kenapa kau tidak duduk di sini dan menemaniku sejenak. Kau terlihat pucat. Kau bekerja terlalu keras. Aku punya air di ketel. Kita akan minum secangkir teh."

"Oke," Ryujin setuju, tenggelam pada salah satu tempat duduk. Dia tiba-tiba merasa lemah karena kelelahan sekarang imajinasi kreatifnya yang menyerbu adrenalinnya telah pudar. Di samping itu, dia tidak bisa tidur nyenyak selama dua hari terakhir.

"Seperti apa Hyunjin ketika masih kecil?" Ryujin tidak bisa menghentikan dirinya untuk bertanya.

"Oh, jiwa tua aku tidak pernah melihat hal seperti itu," Mrs. Jeongyeon menjawab dengan senyum sedih, "Serius, pintar, dan sedikit pemalu. Kadang kala dia hangat seperti kepadamu, begitu manis dan loyal seperti mereka."

Ryujin mencoba membayangkan anak laki-laki muram, rambut gelap, pemalu, dan hatinya sedikit tertekan dengan gambaran di pikirannya.

"Kau terlihat sedikit tidak enak badan," pengurus rumah tangga itu menghiburnya ketika dia tergesa-gesa menuangkan air panas ke dalam dua cangkir kemudian mengaturnya di atas nampan perak, dua Scones (kue khas Inggris), sendok dan garpu perak yang sangat indah, dua serbet putih yang segar, krim Devonshire, dan selai yang indah pada mangkuk keramik. Tidak ada hal yang murahan di kediaman Hwang, tidak juga untuk peralatan dapur.

ECLIPSE | hhj ft. srjWhere stories live. Discover now