Bagian 14 percikan api

2.6K 182 64
                                    

Aisyah POV

Aku pernah menyaksikan tatapan teduhmu saat memandang ibumu, juga tatapan simpati saat kau mendengar ragam ceritaku, pula tatapan cerah nyaris menyipit lantaran tawa saat kau mencoba menghiburku. Begitulah kau kukenal. Tapi malam ini tatapan dari kedua matamu berbeda dari yang sebelumnya. Aku tidak pernah melihat tatapan ini sebelumnya. Seperti percikan api telah mewarnai dua iris matamu.

" Jam berapa kau mengatakan akan pulang?" Kau memandangku lekat saat menutup pintu kamar.

"Saya tidak mengatakan jam berapa hanya mengatakan kalau tidak akan pulang malam." Aku menunduk. Berpikir merangkai kata untuk menjelaskan kejadian di pantai Akkarena. "Tadi ada kejadian di pantai dan saya lupa membawa handphone."

"Ini?" Kau mengangkat handphoneku dan melemparnya di atas sofa. "Kupikir kau tidak membutuhkan ini Aisyah. Percuma kau memilikinya."

"Saya lupa membawanya."

"Agar kau bisa pulang berdua bersama teman laki – lakimu. Begitu?" Kau menatapku lurus.

"Maafkan saya kak, tapi kupikir lebih aman pulang diantar oleh Riza, Aisyah tidak tahu jalan pulang dan hari sudah gelap."

Kulihat kau menarik napas panjang. Tatapan tajammu memudar saat kau memegang kedua pundakku. "Bersihkan dirimu dan pergilah tidur. Saya masih harus menyelesaikan pekerjaan kantor." Kau lalu keluar dan menutup pintu kamar.

Aku hendak beranjak menuju kamar mandi saat tiba – tiba sebuah bunyi pesan masuk.

Aisyah, bgm kbrmu?

Apa kamu menyukai coklatnya?

From: Mr.R

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal dan mengaku sebagai Mr. R membuatku teringat akan coklat Swiss yang entah kutaruh dimana. Kubuka laci meja belajar dan tidak menemukan coklat itu.

Dimana coklat itu? Bisikku pada diri sendiri. Aku menarik napas, menimbang-nimbang apakah akan membalas pesan tersebut atau tidak. Menerima hadiah dan pesan dari seorang yang tidak dikenal sungguh membuatku merasa tak nyaman. Tapi hati kecilku mencegah dan secara tidak langsung mengurungkan jemariku menekan layar handphone untuk mengirim SMS balasan.

Selesai mandi aku turun ke lantai bawah yang seluruhnya hampir gelap. Hanya tersisa satu ruangan kantor yang terang. Disitulah dirimu duduk bertopang dagu di depan laptop. Terlihat fokus menerawang layar laptop yang aku yakini berkaitan dengan bisnis – bisnismu. Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan. Masih terlalu dini bagimu untuk beristirahat. Kubawakan secangkir kopi herbal menguapkan asap di atas meja kerjamu. Seketika kau menoleh dan menatapku datar.

"Terima kasih." Katamu singkat. Aku tersenyum melihat rambut bagian depanmu kusut. Kau kembali terlihat fokus menatap lekat layar laptop. Saat kuintip hanya gambar kurva dan grafik yang tidak kumengerti.

"Kakak butuh sesuatu yang lain?" Tanyaku menunjukkan simpati.

"Sudah cukup Syah. Kamu bisa istirahat sekarang." Jawabmu masih sambil membuat catatan kecil di notebook dan menatap layar laptop.

"Baiklah. Tapi bolehkah saya meminta sesuatu?" Tanyaku ragu.

"Apa Itu?" Kau menoleh dan menatapku lurus.

"Bolehkah kakak membelikanku sepeda?"

Kedua alismu mengernyit ketika menoleh padaku. "Tidak Syah." Jawabmu singkat.

"Ayolah kak, Aisyah mohon!" Kali ini tatapanku mulai memelas. Melihat Riza dan Kumala bersepeda mengingatkanku pada keinginan masa kecilku untuk memiliki sepeda saat masih di asrama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang