Bagian 5 ( Rumah Kita Surga Kita)

9.2K 468 10
                                    

Aku memeluk ummi Rina erat dengan derai air mata yang mencecar membasahi jilbab coklat beliau. Akhirnya sebuah perpisahan harus kulalui. Berpisah dengan Aya, Kak Tina, adik-adik SD IT Al-Fatih dan asrama siswi yang penuh kenangan ini. Asrama yang sederhana, tempat dimana aku bertumbuh dan belajar tentang kehidupan dan kebersamaan. Tempat yang selalu diramaikan lantunan Al-Qur'an setiap subuh dan ba'da maghrib, tempat dimana kami akan olahraga pagi dan belajar beladiri Kana dari kak Tina, katanya seorang muslimah juga perlu menguasai ilmu beladiri untuk melindungi dirinya dari tindak kejahatan di luar sana, tempat dimana aku melampiaskan kecintaanku pada bebungaan yang ditanam oleh ummi Rina. Mengingat itu semua membuatku semakin mengeratkan pelukan pada perempuan bijak yang sudah kuanggap sebagai ibu sendiri.

"Beginilah kehidupan Aisyah. Setiap pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan, tidak ada yang abadi di dunia ini sayang. Keabadian hanya berlaku bagi kehidupan akhirat, dan tidak ada yang lebih pasti kecuali kematian." Ummi Rina mengusap punggungku dengan tangannya yang kian menunjukkan keriput termakan usia. Kurasakan orang-orang di sekitar kami, Aya, Kak Tina, siswi-siswi SD Al-Fatih ikut terisak menahan sedihnya sebuah perpisahan. Termasuk dirimu yang ikut mematung sambil menaruh koper pakaian di ruang tamu asrama.

"Ummi, maafkan kesalahan Aisyah selama ini."

"Tentu sayang, tentu Ummi sudah memaafkan Aisyah jauh hari sebelumnya.. Hanya... yah, beginilah hidup. Duniamu bukan hanya sebatas di dalam asrama tapi kau harus memasuki kehidupan rumah tangga, membentuk keluarga baru yang rabbani." Ummi Rina memandang manik mataku penuh penekanan."Aisyah ingat kata-kata ummi, patuhi suamimu, hormati ia dan setialah baik dalam keadaan suka maupun duka."

"Iya Ummi, InsyaAllah." Aku mengangguk patuh."Tapi.. Apakah Aisyah masih bisa berkunjung ke sini?"

"Pasti. Lagian rumah nak Fadli kan masih di Makassar, deket kok dengan asrama."

Setelah itu aku memeluk kak Tina, Aya dan bergantian memeluk adik-adik siswi SD IT yang selalu mewarnai hari-hariku di asrama.

"Aisyah maaf." Aya memelukku akrab. Kami adalah teman sepermainan yang selalu kompak meski sering bertengkar. Aya yang manis bulan depan akan melanjutkan pesantren di Jawa dan mewujudkan mimpinya untuk kuliah di Al-Azhar university Mesir.

"Aku juga meminta maaf Aya. Kita selamanya adalah sahabat dunia dan akhirat." Kami menangis dramatis.

"Aisyah.." Bisik Aya di tengah pelukan kami.

"Iya."

"Jangan lupa kirimkan foto anakmu kalau saya sudah mondok di Jawa." Aya mengedipkan satu matanya. Tiba-tiba kurasakan pipiku memanas karena malu. Apa-apaan Aya!

"Gak bakal!" Tanggapku pura-pura cuek. Semua orang tersenyum simpul mendengar permintaan Aya barusan. Tiba-tiba tatapan kita bertemu dan kulihat bibirmu ikut melebar memamerkan senyum yang damai. Kurasakan pipiku kembali merona mungkin saja sudah seperti kepiting rebus. Aku menunduk malu.

"Nak Fadli." Ummi Rina maju mendekatimu. "Ummi titip Aisyah nak.

"Iya Ummi." Jawabmu penuh kesungguhan. Entah mengapa mataku tidak bisa lepas dari memandangimu saat ini.

"Aisyah adalah gadis yang baik dan bersemangat, dia juga senang bertanya dan kritis. Saya harap nak Fadli bisa memahami tempramennya yang manja dan kadang emosional apalagi dia masih berusia lima belas tahun."

"Fadli paham Ummi." Kau menjawab sambil mengunci penglihatanku dan dengan tatapan khasmu yang dalam. Tatapan yang suatu saat akan menjadi bagian dari dirimu yang sangat kurindukan.

Usai bersalaman dan berpamitan dengan Ummi Rina dan teman-teman asrama, aku mengikutimu sambil menyeret koper pakaian menuju mobil Honda Jazz putih yang terparkir di halaman asrama. Setelah mengatur koper lain di bagasi mobil kau menghampiriku dan mengambil koper dari genggamanku dengan sigap dan lincah.

Aku Bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang