Bagian Dua ( Sebuah Mimpi )

7.9K 439 9
                                    

Allahu Akbar!!! Suara berat takbir ustad Ridwan menggema memantul tembok-tembok masjid. Setelah itu suasana sunyi dan hening seketika. Yang nampak hanya shaf teratur sholat jamaah, dan yang terdengar hanya suara desahan nafas puluhan manusia yang sedang menghadap pada satu titik kekuasaan. Mereka berserah dengan penuh totalitas kepada Allah. Tuhan pencipta alam. Di luar sana langit kian menjingga, alam pun tak henti bertasbih memuji sang kuasa, daun pohon-pohon kelapa menari suka cita tertiup angin pantai losari yang selalu mempesona setiap pasang mata. Mentari tenggelam di ujung lautan keterbatasan pandangan manusia. Bentang cakrawala indah anugerah yang senantiasa harus ditadabburi oleh manusia, alam ini pula yang memberikan penjelasan tersirat tentang hakikat manusia diciptakan. Keindahan, bencana, keluasan dan beragam misteri yang tersembunyi di dalamnya akan menyadarkan manusia agar tak memiliki kesombongan dan sikap angkuh yang tinggi. Seolah-olah mereka itu ingin berkata ; lihatlah manusia ! Sungguh kalian hanyalah bagian tekecil dari jagat raya ini, rendahkanlah dirimu pada Allah dan hilangkanlah kesombongan di hatimu sebab terlalu banyak hal yang tidak kau ketahui mengenai kehidupan ini.

Tak lama suara berat itu melantunkan ayat. “Ar-Rahmaann.......” Tercekat suara berat itu lantaran kesedihan yang tak terbendung .Kini lelaki paroh baya itu sedang menghadap pada Allah, sedang berdialog dengan penuh kenikmatan di dalam masjid terapung Amirul Mukminin, memimpin puluhan jamaah masjid. Fadli yang tepat berdiri di belakang sang imam merasakan atmosfer yang sama, tiba-tiba bulu kuduknya merinding dan terasa dadanya ingin meledak, air matanya mulai muncul di sudut mata. Dalam hati ia mengikut merapalkan ayat tersebut.

‘allamalqur-aan...., Khalaqal insaan...., ‘allamahul bayaan..., Asy syamsu wal qamaru bi husbaan..., Wan najmu wasy syajaru yasjudaan...”. Tiba-tiba tubuh tinggi itu ambruk di tempat sujud, ustad Ridwan tersungkur dengan tangan mengepal dada kirinya. Fadli yang tersadar dengan ketidak beresan itu menghamburkan diri mendekat mengangkat tubuh paroh baya sang imam. Seorang lelaki di sampingnya dengan sigap maju melanjutkan mengimami sholat magrib di masjid Amirul Mukminin.

Astaghfitrullah..astaghfirullah Ustad Ridwan tak henti beristighfar, Fadli menemani beliau hingga di rumah sakit. Keringatnya bercecar memenuhi dahi pemuda itu. Cemas, takut dan sedih seketika menjalar di hatinya, tidak lama ummi Rina datang bersimpuh air mata sambil menggendong bayi, dan permintaan itu menikam jiwanya kuat dan seketika ia menyanggupi permintaan terakhir seseorang yang sangat dicintai dan dihormatinya.

“Aisyah..., Aisyah.., Aisyah..!” Suara lelaki itu menggema, ia terus berlari memasuki masjid terapung mencari sosok yang dirindukannya selama ini. Laut yang luas membentang tak berbatas. Tak ada kuliner di sepanjang pantai atau satu nyawa pun manusia yang menampakkan diri, tak ada aktivitas di siang itu. Matahari bersinar cerah dan mencetak bayang tak beratur di atas hamparan laut. Terik panas namun tak membuat pria itu berkeringat. Ia terus mencari sebagian dari dirinya yang hilang. Di dalam masjid hanya ada kesunyian. Fadli berlari menaiki tangga yang berkelok bergegas seakan ingin mencapai puncak bangunan berkubah biru itu.

“Aisyah!” Sapanya sekali lagi dengan kehangatan yang semakin menyilau pandangan. Berkas putih matahari menyamarkan segala yang ada di sekitarnya. Mata lelaki itu berfokus pada satu sosok perempuan berpakaian putih cerah dan berjilbab putih. Perempuan itu nampak tersenyum meski wajahnya tersamarkan karena silau cahaya putih mentari. Jantung lelaki itu berdetak tak menentu. Ia meninggalkan anak tangga teratas masjid, mendekati sosok perempuan jelita yang ia yakini adalah Aisyah.

Gadis itu semakin melebarkan senyum sebelum berkas matahari menelan sosoknya menghilang. Sebelum mendekat Fadli merasakan sosok perempuan jelita itu telah menghilang dan tiba-tiba dadanya terasa sesak karena kesedihan yang tak mampu terjelaskan.

“Aisyah!!!” Teriaknya. Lelaki itu tersentak dari pembaringan bermandi peluh. Keringat memenuhi dahi hingga pelipis bahkan membuat basah baju kaos putih yang dikenakannya.

Aku Bukan AisyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang