Momen Pertama: Hujan dan Jaket - Awal yang Tak Terduga
Di Universitas Hanbit, taman kampus adalah tempat yang penuh kenangan—pohon-pohon maple yang tinggi menjulang, daun-daunnya berguguran di musim gugur, dan bangku-bangku kayu tua yang jadi saksi bisu berbagai cerita mahasiswa. Hari itu, langit mendung menyelimuti Seoul, tapi Tzuyu—mahasiswi tingkat dua jurusan Sastra—tak peduli. Dia duduk di salah satu bangku di bawah pohon maple terbesar, tenggelam dalam novel tebal yang halamannya sudah mulai lusuh karena sering dibaca. Rambut panjangnya tergerai lembut, sesekali tertiup angin sepoi yang membawa aroma daun kering. Matanya fokus, dunia di sekitarnya seolah lenyap—hanya ada dia, bukunya, dan cerita yang mengalir di pikirannya.
Tiba-tiba, tetesan air kecil jatuh ke halaman buku yang sedang dia baca. Tzuyu mendongak, alisnya berkerut tipis saat menyadari hujan mulai turun. Gerimis itu cepat berubah jadi deras, membasahi rambutnya dan membuat tinta di bukunya sedikit luntur. Tapi Tzuyu tak bergerak—dia hanya mengangkat bukunya lebih tinggi, mencoba melindunginya dengan tangan rampingnya, seolah buku itu lebih berharga daripada dirinya sendiri. Air menetes di pipinya, tapi wajahnya tetap tenang, dingin seperti biasa, meski ada sedikit kekesalan di matanya.
Di kejauhan, Yugyeom—mahasiswa tingkat akhir jurusan Olahraga—baru saja selesai latihan basket. Dia berjalan memutar melewati taman, seragamnya masih sedikit berkeringat, bola basket tergenggam santai di tangan kirinya. Dia tak berniat berhenti, tapi pandangannya tertarik pada sosok Tzuyu yang duduk sendirian di tengah hujan. "Gadis ini… apa yang dia pikirin?" gumamnya dalam hati, langkahnya terhenti tanpa sadar. Ada sesuatu di ketenangan Tzuyu—cara dia tetap duduk meski basah, cara dia memandang bukunya dengan penuh konsentrasi—yang membuat Yugyeom tak bisa berpaling.
Hujan semakin deras, dan tanpa pikir panjang, Yugyeom melepas jaket basketnya—jaket hitam dengan logo tim di punggungnya—dan berlari kecil ke arah Tzuyu. Dia berdiri di depannya, mengangkat jaket itu tinggi-tinggi hingga menutupi kepala Tzuyu seperti payung darurat. "Kamu nggak takut sakit?" tanyanya, suaranya lembut tapi ada nada khawatir yang terselip. Air hujan menetes dari rambutnya yang basah, jatuh ke bahunya, tapi dia tak peduli—matanya hanya tertuju pada Tzuyu.
Tzuyu mendongak perlahan, matanya yang tajam bertemu dengan tatapan Yugyeom. Dia terkejut, tapi wajahnya tetap datar, tak menunjukkan apa yang ada di pikirannya. "Bukuku lebih penting," jawabnya singkat, suaranya dingin seperti angin yang bertiup di antara mereka. Tapi ada kilau kecil di matanya—sesuatu yang tak biasa, sesuatu yang Yugyeom tangkap meski hanya sekilas. Dia tertawa kecil, suaranya renyah dan hangat, memecah keheningan di tengah deru hujan. "Kalau gitu, aku lindungin kalian berdua," katanya sambil tersenyum, tetap berdiri di samping Tzuyu dengan jaket terangkat tinggi.
Tzuyu menatapnya lagi, kali ini lebih lama. Rambut Yugyeom basah kuyup, tetesan air mengalir di wajahnya, tapi senyumnya tak pudar—malah semakin lebar, penuh percaya diri yang khas. Jaket itu tak cukup besar untuk melindungi mereka berdua sepenuhnya, dan pundak Yugyeom mulai basah, seragamnya menempel di kulitnya karena air. Tapi dia tak mengeluh, tak bergerak, hanya berdiri di sana seperti benteng kecil yang melindungi Tzuyu dari dunia.
"Kamu nggak harus ngelakuin ini," kata Tzuyu pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan. Dia menunduk, jari-jarinya menggenggam buku lebih erat, seolah mencoba menyembunyikan getaran kecil di hatinya. Yugyeom memiringkan kepala, matanya tak lepas dari wajah Tzuyu yang basah oleh tetesan air. "Aku mau, Tzu," jawabnya, nadanya lebih rendah, lebih serius dari biasanya. "Biar aku jadi alasan kamu nggak kedinginan hari ini. Nggak apa-apa kalau aku basah, asal kamu baik-baik aja."
Kata-kata itu sederhana, tapi ada kelembutan di dalamnya yang membuat Tzuyu tak bisa menjawab. Dia hanya menunduk lebih dalam, rambutnya yang basah jatuh menutupi wajahnya, tapi sudut bibirnya sedikit naik—senyum kecil yang langka, yang Yugyeom anggap sebagai kemenangan kecil. Hujan terus turun, membasahi mereka berdua, tapi di bawah jaket itu, ada ruang kecil yang terasa hangat—ruang yang tercipta dari perhatian Yugyeom dan ketenangan Tzuyu.
Setelah beberapa menit, hujan mulai reda, meninggalkan genangan kecil di bangku dan aroma tanah basah di udara. Yugyeom menurunkan jaketnya, menggantungkannya di pundaknya sendiri, lalu melangkah mundur. "Lain kali bawa payung, ya," katanya sambil tersenyum, ada nada bercanda di suaranya. Tzuyu mengangguk kecil, lalu berkata, "Makasih… Yugyeom." Itu pertama kalinya dia menyebut nama Yugyeom, dan suara itu—lembut, hampir seperti bisikan—membuat jantung Yugyeom bergetar.
Dia melambai santai sebelum berbalik pergi, tapi saat melangkah, Yugyeom tahu sesuatu telah berubah. Tzuyu bukan lagi sekadar "gadis misterius" yang dia lihat dari kejauhan—dia adalah seseorang yang ingin dia dekati, seseorang yang membuatnya rela basah kuyup hanya untuk melihat senyum kecil itu lagi. Sementara Tzuyu, yang kembali duduk dengan bukunya, tak bisa fokus membaca. Aroma jaket Yugyeom yang samar—campuran keringat dan parfum maskulin—masih terasa di udara, dan untuk pertama kalinya, dia merasa dunianya yang sunyi telah diganggu oleh kehadiran seseorang yang tak bisa dia abaikan.
Momen itu adalah awal dari segalanya—hujan yang membasahi mereka, jaket yang jadi pelindung, dan tatapan yang tak terucapkan. Di bawah pohon maple itu, benih cinta mulai tumbuh, meski Tzuyu tak tahu bahwa benih itu akan membawanya ke dalam drama yang lebih besar.
To Be Continued...

KAMU SEDANG MEMBACA
Tangled Hearts (✔️)
Hayran KurguCinta Segitiga sudah biasa. Bagaimana dengan cinta segiempat??? !@#$%&*