-Mawar yang layu

23 3 2
                                    

"Aku ingin mengkhitbahmu,
kelak nanti umurmu 23 tahun, sudikah kamu?"

Kata-Kata itu selalu terngiang-ngian di benakku. Saat aku melihat kearah jam jam menunjukkan waktu sholat tahajud, lagi lagi aku bermimpi dan teringat akan awal dari pertemuan ku dengan Kahfi. Kata kata khitbah itu hanya menjadi angan-angan sebuah mimpi dalam harapan, yah nampaknya aku mulai menyukainya, entah sejak kapan,
entah darimana yang jelas Tuhanku memberi rasa ini untuk Kahfi namun kembali juga kepada yang Kuasa, aku selalu akan menjalani apa yang ia gariskan, kehendakmu lebih terbaik dari apa yang ada di dunia.

Malam berganti pagi, pagi menjadi siang, siang menjadi sore, lalu sore kembali ke malam lagi. Mereka tak pernah bosan, tak pernah jenuh, tak pernah merasa sakit walau posisi nya selalu tergantikan.

Kahfi, seorang pemuda yang nampaknya menarik bagiku,
hatiku luluh, entah mengapa jika dikaitkan soal cinta, aku sudah bosan, yah aku pernah terjeremus dalam jalan yang salah, dan tentu aku menjadi playgirl, pacar sana pacar sini.

Namun Kahfi adalah cerminan  sikap awalku, sopan, tak kenal dunia kelam, baik, dan tak mengenal cinta pada manusia.

Namun salahkah jika aku menyukainya. Ini hari ke 3 menuju hari ulang tahunku, Kahfi selalu menuntunku kejalan yang benar dan aku ikut serta akan nasehatnya, dan orangtuaku merestuinya.

Setelah subuh di Masjid aku mengajar anak-anak mengaji bersama Kahfi dan ketika selesai mengajar, ia berkata,

"Ultahmu nanti bagaimana jika ku ajak kamu kesuatu tempat?" sambil memasukkan kaki nya ke sandalnya.

"Boleh tuh Kahf, ehh tunggu bentar woii, sendal mana yahh?hhh, nah ini dia tungguiinnnn, " menyusul Kahfi.

"Toa masjid kok masih ikutin aku yah?" tertawa kecil.

"Dihhh, aku gak mau ikut ah ntar?" ucap Dhifa.

"Iya-iya Makmum, " ucap Kahfi sembari bercanda.

"Baiklah Imam, " ucap Dhifa seraya merayu.

Lalu Kahfi tak sengaja tersentuh hijab Dhifa, lalu ia kaget dan kemudian menjaga jarak kembali. Kahfi tersipu malu,lalu Angin pagi pun datang memberi kesejukan dan lagi lagi karena bercandanya terlalu asikk, dahan ranting hampir saja jatuh diatas kepalaku Kahfi lagi lagi menyelamatkan ku.

Krekkkk, krekkkkk, ktekk

Dahan itu patah dan jatuh.

Kahfi sosok pemuda yang tak pernah tersentuh wanita yang bukan Makhromnya, kali ini iya tak ragu ragu menarik Dhifa.

"Awas!" sembari menarik dhifa dengan sajadahnya.

Dhifa terjatuh, tangan dan kakinya tergores keras dengan tanah, dan Kahfi yang hendak mengangkatnya kali ini dengan tangannya sendiri, ehhh tapi tidak bersentuhan,masih dengan sajadah.

"Dhiii, Dhifa, pegang sajadah ini, " setelah aku pegang kuat kuat, lalu ia tarik sajadahnya, dan aku bisa berdiri.

Walau pulang tergopoh-gopoh, walau pulang mendapat luka, namun aku senang bisa bersama Kahfi.

Dan besoknya, Kahfi harus pergi ke Belanda, untuk bertemu kakaknya, selama satu minggu.

Yah, hatiku hancur di tinggal Kahfi, bagai mawar yang layu yang merindukan matahari kala malam, yang merindukan hujan kala pelangi datang, namun kan kutunggu sampai nanti saat dirimu pulang.

Hijrah ku, membawa aku pulang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang