Firasat

45 6 0
                                    

Mungkin karena dia sering berbohong jadi dia pun tahu di saat orang lain berbohong padanya.

Devon memasang handycam pada tripod berkaki tiga yang berada di atas meja belajarnya. Ia memencet sebuah tombol untuk mulai merekam.

Di konser tadi aku bertemu seseorang...

Pikirannya kembali melayang pada cewek berambut pirang sepinggang dengan sentuhan highlight berwarna lebih terang. Cewek itu menatapnya dengan sorot mata dingin dan tajam. Wajahnya tampak pucat. Suaranya rendah, terdengar seperti malas berbicara dengan orang.

Awalnya cewek itu telah mencuri perhatiaan Devon di pintu masuk karena cewek itu terlihat sendirian, sedangkan kebanyakan orang pasti datang ke konser bersama gangnya atau pacarnya.

Devon juga merasa cewek itu unik karena ia masih saja memakai earphone berwarna biru itu di telinganya padahal ia akan menonton konser.

Tanpa sadar Devon tersenyum melihatnya, hingga tanpa sadar kakinya mengikutinya sampai ke barisan depan, tepat di belakang ceweknya.

Tapi semua penilaiannya di awal seketika luntur saat cewek pirang itu marah-marah padanya.

Dia cantik sih tapi sayang dia galak banget, ketus, terus suka marah-marah lagi!. Dari penampilannya dia nggak feminim sama sekali kayak cewek kebanyakan. Kayaknya dia suka banget sama musik. Dia bahkan masih pakai earphone biru mudanya padahal mau nonton konser. Aku masih nggak ngerti kenapa dia sampai semarah itu sama aku padahal aku nggak sengaja mendorongnya karena nggak bisa menahan para pengunjung yang tiba-tiba saling dorong-mendorong. Gara-gara dia, kita diseret keluar oleh satpam setelah membuat keributan tepat di depan panggung. Tapi, aku nggak begitu menyesal bertemu dia.

Devon mengatakan kalimat terakhir itu sambil tersenyum.

Ia memencet tombol stop lalu menancapkan memori dari handycam di laptopnya dan memindahkan rekamannya hari ini. Tak lupa ia memberi nama dan tanggal pada file rekamannya.

Paginya, Devon memutar rekaman-rekaman di laptopnya untuk mengembalikan ingatannya. Tanpa sadari ia tersenyum melihat ulang rekaman cewek galak di konser semalam.

Kini pandangannya beralih pada foto-foto yang bergantung pada bagian tembok di atas meja belajarnya. Tiap foto yang ada disertai kertas post-it yang bertuliskan nama orang yang berada pada foto-foto tersebut.

Khusus orang tuanya, Agnes dan David, ia tidak melupakannya. Ia hanya perlu menghafal Jerry, bos di tempat kerjanya yang hampir tidak pernah muncul, serta Dinda dan Kris teman kerjanya.

Selebihnya, teman kampus yang banyak itu, Devon sengaja tidak mengakrabkan diri dengan mereka, jadi mereka tidak perlu repot-repot menghafalnya. Tepatnya Devon yang menarik diri terhadap wajah-wajah asing di kelasnya itu.

Devon membuka buku catatannya miliknya dan membaca kembali tentang langkah-langkah membuat kopi beserta resepnya. Tidak begitu sulit karena skill dalam membuat kopi tidak hilang dalam semalam.

Juga ketika ada ujian, ia baru akan belajar di pagi hari sesuai jadwal yang ada sehingga ia bisa mengingat semuanya.

***

Devon melangkah masuk ke dalam kelasnya yang dipenuhi wajah-wajah asing. Untunglah kuliah tidak seperti sekolah. Di sini orang-orangnya lebih individualis dan cuek, tetapi tentu cewek-ceweknya masih doyan bergosip.

Devon berjalan menuju meja kosong yang tersisa. Kebanyakan dari mereka sibuk dengan handphonenya masing-masing.

Sambil menunggu dosen yang datang sesuka hatinya, Devon suka mengamati apa saja yang ditangkap oleh matanya, telinganya sekalian ikut menguping pembicaraan orang-orang di dekatnya acuh tak acuh.

Forget YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang