"Aku bisa membayangkan betapa menyakitkan jika harus mengatakan kenyataan pahit berulang-ulang. Rasanya seperti menoreh luka yang belum sembuh."
"Papa mana, Ma?" tanya Devon pada mamanya sambil menonton infotainment di pagi hari.
Mamanya terhenyak. "Papa lagi kerja di luar negeri, kan? Kok Devon lupa terus sih?" kata mamanya berusaha tidak terlihat emosional.
"Maaf, Ma. Devon seharusnya bisa ingat jadi nggak bikin mama capek karena Devon tanya terus," kata Devon merasa bersalah.
Mamanya memaksakan senyum. "Nggakpapa, Dev. Jangan bilang begitu."
"Gimana kalau kita pindah saja, Ma? Supaya kita bisa tinggal bareng bertiga dan nggak jauh-jauh dari papa," usul Devon.
"Pekerjaan papamu pindah-pindah, Nak. Kita nggak mungkin kan hidup pindah-pindah terus tanpa punya tempat tinggal tetap. Iya, kan?"
Devon mengangguk mengerti.
"Ohya, nanti sepulang kampus, jangan ke tempat kerja dulu, ya? Kamu ijin telat sama bosmu ya soalnya hari ini jadwalnya ketemu dengan dokter Robi."
"Beres, Ma!"
***
"Gimana dok sama perkembangan Devon?"
"Hasil pemeriksaan menunjukkan belum ada kemajuan. Tapi sama sekali tidak bertambah buruk. Mungkin Devon butuh seseorang yang selalu di sampingnya untuk sering mengingatkannya agar ingatannya semakin kuat."
"Apa ada kemungkinan Devon bisa sembuh, Dok?"
"Tentu saja!
Kemudian mata dokter Robi tertuju pada Devon. "Saya ingatkan lagi ya untuk Devon. Biasakan untuk selalu mencatat atau menulis apapun sebagai pengingat dan juga gunakan post-it dan tempelkan di tempat yang langsung terlihat. Kamu juga bisa pakai reminder atau alarm pengingat yang ada di handphone. Beberapa usaha kecil itu bisa sangat membantu kamu dalam meningkatkan kemampuan mengingat kamu."
"Iya, Dokter. Saya selalu melakukannya."
"Ma, Devon ke toilet bentar, ya."
Devon pergi ke toilet yang berada tepat di sebelah ruangan dokter Robi.
Mamanya mengambil kesempatan itu untuk berbicara pada dokter Robi mengenai Devon yang membuat mamanya itu khawatir.
"Bagaimana saya harus mengatakan bahwa papanya meninggal di kecelakaan itu? Saya takut membuat kondisi Devon semakin buruk. Tapi saya juga sedih harus membohongi Devon terus-terusan."
"Jadi papa sudah meninggal, Ma?" tanya Devon yang tiba-tiba muncul.
Mamanya terkejut Devon begitu cepat kembali. Mamanya langsung bangkit berdiri dan mendekati Devon dengan takut-takut.
"Kamu salah dengar, Devon."
"Devon sudah mendengarnya, Ma. Kenapa mama menutupinya dari Devon?" katanya dengan kecewa.
Mamanya tidak bisa berkata apa-apa.
"Ternyata papa tidak sedang bekerja di luar negeri?"
Mamanya mulai terisak lalu menggeleng lemah, "Tidak, Nak. Maafkan mama telah berbohong padamu."
"Devon bukan anak kecil lagi, Ma. Apa yang sebenarnya terjadi sama papa?"
Mamanya menghela nafas sebelum mulai menjelaskan pada Devon.
"Malam itu, kecelakaan menimpa kamu dan papamu. Sebuah truk dengan sopir yang mengantuk dan tertidur menabrak mobil kalian dari arah berlawanan. Papamu tidak berhasil diselamatkan. Tapi syukurlah kamu masih hidup, Nak," jelas mamanya dengan mata yang mulai basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget You
Teen FictionMenderita short term memory loss syndrome, membuat Devon selalu membawa handycam miliknya untuk merekam hal yang tidak ingin ia lupakan. Ketika ia bertemu dengan Alexa, cewek pirang pemilik earphone biru muda itu, ia merasakan hal baru yang tidak ia...