Rasa Bersalah

13 2 0
                                    

"Banyak orang di dunia ini yang tidak tahu kalau rasa sayang itu harus ditunjukkan."

Sudah beberapa hari jenasah papa Alexa berada di rumah duka, kini tiba saatnya penutupan peti yang berarti ini saat terakhir Alexa dan keluarganya bisa melihat papanya.

Lagu syadu dinyanyikan, dipimpin seorang pendeta dan ditutup sebuah doa. Setelah itu, mamanya mengelilingi peti jenasah papanya sambil menabur bunga, diikuti Alex dan dirinya kemudian anggota keluarga besarnya yang kebanyakan belum pernah ia lihat.

Momen sakral itu membuat Alexa tidak sanggup membendung air matanya lagi bersama rasa bersalahnya.

***

"Sudah beberapa hari terakhir ini aku tidak melihat Alexa. Apa karena ia sudah kembali dengan Nando? Dia pasti sibuk pacaran dan melupakanku," katanya pada handycam di depannya lalu ia tertawa pahit.

Hari ini masih sama. Belum ada tanda-tanda Alexa di kampus, di Rain Coffee, maupun di apartemennya. Sudah setengah jam ia berdiri di depan pintu apartemen Alexa dan terus memencet belnya, tapi nihil.

Besoknya, Devon langsung menghadang Nando yang baru turun dari mobilnya. "Kamu melihat Alexa? Kamu tahu dia dimana?"

Nando berdecak kesal, merasa terganggu dengan kehadiran Devon. "Minggir!" katanya lalu berjalan lagi.

"Selamat ya kamu balikan sama Alexa," kata Devon menyunggingkan senyum tidak ikhlas.

Nando berpikir sejenak kemudian ia menaikkan bahunya. "Thanks," katanya.

"Apa kau serius dengannya? Kau tidak sedang mempermainkannya lagi, kan?"

"Aku serius dengannya."

"Kalau begitu jaga dia baik-baik!"

"Tidak usah sok menasihatiku," kata Nando sambil menatapnya sengit.

"Awas sampai kau menyakitinya lagi! Aku tidak akan tinggal diam!"

"Terserah!" katanya lalu meninggalkan Devon yang sedang patah hati.

***

Melihat Alexa, semangat dalam dirinya kembali bangkit. Ia mengejar Alexa yang sepertinya sedang menuju ke tempat rahasia mereka. Ia menaiki anak tangga dengan cepat seolah ia tidak merasa capek.

Saat tiba di atas bersama matahari siang yang menyilaukan, ia malah mendapati pemandangan yang mengejutkan. Ia langsung berlari pada Alexa yang sedang beridiri di atas tembok pembatas.

Alexa sedang mengaba-abai dirinya sendiri, menghitung mundur dalam hati. Salah satu kaki Alexa ia majukan perlahan sambil menundukkan kepala melihat kebawah.

"Alexa!" teriak Devon membuat Alexa jadi kehilangan keseimbangan dan nyaris ia jatuh. Untung saja Devon menarik tubuh Alexa ke belakang. Alexa terjatuh tepat menimpa tubuh Devon.

"Awww!" pekik Devon kesakitan karena kepala dan punggungnya jatuh di aspal.

Alexa membuka mata perlahan dan mendapati wajah Devon tepat di depannya. Ternyata ia tidak jadi meninggal.

"Devon!" teriak Alexa panik dengan mata membesar ketika melihat darah mengalir dari balik kepala Devon.

"Dar—rah! Kepalamu... berdarah!" ucap Alexa dengan terbata-bata.

"Untung kamu baik-baik saja!" kata Devon sambil tersenyum. Ia memegang pipi Alexa.

"Dasar bodoh! Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" sahut Alexa, cepat-cepat bangkit berdiri menarik tangan Devon hingga berdiri.

Forget YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang