"Nggak semua yang kamu mau bisa kamu dapetin. Barang-barang mungkin bisa kamu dapetin, tapi kamu nggak bisa memaksa orang lain untuk suka sama kamu."
Angin kencang menerpa wajah Alexa dan Devon ketika kaki mereka berhasil menaiki anak tangga terakhir dan membuka sebuah pintu yang membawa mereka ke sebuah tempat luas beraspal yang menyilaukan. Langit siang itu menyapa mereka dari jarak yang lebih dekat dari biasanya.
"Ngapain kamu bawa aku ke sini? Di sini nggak ada apa-apa dan siapa-siapa," tanya Alexa ketika mereka sampai di rooftop kampus mereka sambil memutari tempat itu tapi tidak menemukan apapun.
"Karena itu kita ada di sini sekarang. Tempat ini adalah teman favoritku di kampus ini. Di sini aku bisa sendirian tanpa ada yang ganggu. Karena aku lihat kamu sepertinya suka menyendiri, jadi aku pinjemin tempat ini ke kamu," kata Devon sambil berjalan menuju ke tepi, di mana mereka bisa melihat banyak hal di bawah sana dari tempat itu.
"Aku nggak perlu," kata Alexa dingin.
Devon menyandarkan dadanya di tembok pembatas bercat putih dan kedua tangannya memegang bagian atas pembatas itu. Ia memajukan kepalanya untuk melihat ke bawah. Setelah itu ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil memejamkan mata.
Alexa hanya berdiri di belakang Devon sambil mengamatinya. Mengamati pantulan cahaya matahari di kacamata Devon. Alexa salah fokus.
"Kayaknya tempat ini cocok untuk bunuh diri," celetuk Alexa datar sambil memajukan kepalanya untuk melihat ke bawah, mengecek seberapa tinggi tempat ini.
Ucapan Alexa barusan membuat Devon langsung menoleh padanya.
"Apa kamu bilang?"
"Di sini cocok untuk bunuh diri," ulang Alexa.
"Eh! Jangan pernah lakuin itu!" kata Devon tegas, takut Alexa benar-benar serius tentang idenya barusan.
"Kayaknya kamu itu orang yang suka ikut campur urusan orang lain, ya?" tebak Alexa sinis.
Devon membalikkan badannya dan menghadap Alexa sambil menyandarkan punggungnya di tembok pembatas. "Oh ya? Aku baru tau kalau aku orang yang seperti itu," katanya sambil melipat kedua tangan di depan dada sambil memutar bola matanya berpura-pura berpikir.
Devon berjalan kemudian duduk di hangatnya aspal. Ia juga meletakkan tasnya.
"Ngapain kamu berdiri di situ? Duduk sini," kata Devon sambil menepuk aspal, memberi isyarat supaya Alexa duduk di sebelahnya.
Alexa akhirnya duduk di sebelah Devon dengan terpaksa.
"Bisa nggak sih kalau ngeliatin orang jangan sadis-sadis gitu?"
"Kamu itu bener-bener, ya! Bikin emosi!"
"Ya ampun! Bercanda kok."
Alexa tidak mempedulikan Devon. Ia sedang sibuk sendiri mengganti lagu dari ipod nano miliknya, kemudian mengeluarkan buku bersampul hitam dan sebuah bolpen dari tasnya.
"Aku masih penasaran apa sih yang kamu tulis?"
Alexa menoleh pada Devon dan menatapnya tajam.
"Iya, iya, aku nggak ganggu kok," kata Devon seperti berbicara sendiri. Devon pun mengeluarkan handycam miliknya dan mulai merekam sekelilingnya termasuk sengaja merekam Alexa.
"Aku lagi mikir. Memangnya aku salah apa? Apa kamu bersikap seperti ini hanya kepadaku atau pada semua orang?"
Tanpa menghentikan tangannya yang sedang menarikan bolpen di atas lembaran kertas itu, ia mengatakan, "Bersikap seperti apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Forget You
Novela JuvenilMenderita short term memory loss syndrome, membuat Devon selalu membawa handycam miliknya untuk merekam hal yang tidak ingin ia lupakan. Ketika ia bertemu dengan Alexa, cewek pirang pemilik earphone biru muda itu, ia merasakan hal baru yang tidak ia...