Jika ia bisa memutar waktu dan menuruti perkataan suaminya, ia tidak harus menghadapi hal seperti ini.
Mereka bisa bersantai di rumah, walau itu pasti sangat sepi. Ia akan menonton TV atau film, atau membaca novel romantis kacangan untuk menghibur fantasi wanita dewasa, atau apapun. Yang penting tidak perlu datang kemari dan terjebak pada situasi yang tidak menyenangkan.
Begitu pendapatnya setelah beberapa menit lalu.
"Aku merasa tidak asing denganmu, Sakura. Apa kau memiliki kerabat orang penting?"
Ia paling menghindari topik ini. Tenggorokannya tercekat untuk beberapa alasan.
"Benarkah?" tanyanya basa-basi pada suami Hinata. "Ayahku mantan anggota dewan dulu."
Alis Naruto naik. "Oh ya? Siapa ayahmu?"
Bibirnya bergerak tidak nyaman. "Haruno Kizashi."
Suara serak namun tetap ia jaga setenang mungkin. Ia sadar bahwa skandal ayahnya adalah rahasia umum. Semua orang yang memiliki keterkaitan dengan politik ataupun pengusaha, pasti mengetahui hal itu. Setidaknya mereka pernah mendengarnya sekali.
Ayahnya benar-benar memiliki reputasi buruk.
Ia bisa melihat, setiap sudut di wajah Naruto menyergit seperti sedang mengingat sesuatu.
"Ah, aku ingat. Ternyata ayahmu Haruno yang itu."
Ia tidak tahu maksud kata itu yang ditekankan suami Hinata. Mungkin tanpa sadar, pria itu tengah mengejeknya secara tidak langsung. Naruto tersenyum, lebih seperti senyum meremehkan jika dilihat dengan seksama.
"Tapi memang harus kuakui, Sasuke pintar memilih istri. Kalian terlihat benar-benar serasi," lanjutnya.
Entah pujian jenis apa itu, yang pasti suaminya tidak menyukainya sama sekali. Karena yang selanjutnya terjadi adalah bunyi dentingan gelas Sasuke yang cukup keras. Bunyi itu bahkan berhasil membuat orang di sekitar mereka terkejut.
Rupanya gelas itu berbenturan dengan cincin Sasuke.
Cincin pernikahan mereka.
Sepertinya suaminya itu mengambil gelas terlalu keras, atau bisa jadi emosi tengah mendominasi diri pria itu. Tanpa perlu melihat raut suaminya, ia sudah mengira Sasuke pasti sedang sangat marah sekarang. Emosinya mudah sekali terpancing malam ini.
Tangannya menyentuh paha Sasuke di bawah meja, menekannya pelan. Berharap itu bisa membuat kemarahan suaminya sedikit mereda.
Saat makanan penutup datang dan semua orang tengah sibuk dengan obrolannya masing-masing, ia mendekat ke arah Sasuke, menunduk sedikit dan berbisik pelan disana.
"Kita pulang saja sekarang."
Suaminya itu menatapnya lurus seolah mengatakan, seharusnya sejak tadi kau katakan itu. Ia hanya bisa membalas tatapan itu dengan sedikit memelas.
Saat kepalanya mendongak, ia memergoki Hinata sedang melihat interaksinya dan Sasuke. Menatap ke arah tangannya yang berada atas di paha suaminya. Namun buru-buru mengalihkan wajah kembali kepada Naruto.
Ia tersenyum miring, tidak terkejut lagi setelah seluruh tingkah wanita itu malam ini.
Bibirnya sudah akan terbuka untuk berpamitan, sebelum suaminya lebih dulu berbicara mewakilinya.
"Kami pulang. Masih ada urusan."
Sama sekali tidak mengucapkan terima kasih dan salam yang tepat.
Sasuke melangkah lebih dulu mendahuluinya, meninggalkan ruang makan keluarga Uzumaki.
Ia ikut berdiri kaku dan berdehem sebentar. "Terima kasih atas undangan makan malamnya, Naruto dan Hinata. Selamat malam," tambahnya mewakili Sasuke yang sudah keluar dari rumah Uzumaki ternyata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken Felicity #1 ✔
FanfictionDi Ise City kau harus hidup bahagia, walau mungkin tidak pada kenyataannya. Hidup disana penuh tekanan. Berpura-pura adalah hal paling mahir yang harus kau lakukan. Sasuke adalah suami arogan. Keangkuhannya membumbung tinggi hingga ke langit-langit...