Sarada, Hiro dan Ken pulang dari taman bermain hampir tengah malam. Mereka mengeluhkan jalanan yang begitu padat hingga bus mereka harus terjebak disana. Ken bahkan telah tertidur dan Hiro harus menggendongnya masuk ke rumah. Wajah mereka terlihat lelah namun senang. Sepertinya acara tamasya mereka menyenangkan. Sepertinya lain kali mereka harus pergi lagi sekeluarga.
Sarada menatap kearahnya dengan raut berbeda. Melihat kearahnya dan Sasuke bergantian, lalu tersenyum. Entah apa yang dipikirkan putrinya itu. Namun berkat undangan yang diberikan Sarada, ia dan Sasuke lebih terbuka. Ia mengecup pipi putrinya, sebelum gadis itu naik ke kamarnya.
Ia teringat sesuatu. Tadi setelah mandi berjam-jam─dengan Sasuke, ia mendapat telepon dari ibu mertuanya. Meminta mereka untuk datang ke kediaman utama Uchiha minggu depan. Makan malam rutin keluarga mereka.
Ingatannya menerawang jauh. Sejak kejadian Sasuke dan Ayah Fugaku bertengkar, mereka belum pernah lagi ke sana. Walau sempat bertemu di acara puncak charity Uchiha Group. Namun tidak banyak interaksi yang mereka lakukan kala itu. Terutama Sasuke dan kedua orang tuanya. Entah bagaimana ia harus mengajak Sasuke. Pria itu mungkin saja masih marah. Ia mengenal sifat Sasuke. Suaminya sedikit pendendam.
Biarkan ia memikirkan caranya besok. Sekarang ia hanya ingin mereka tidur dengan tenang. Tidak mungkin ia menghancurkan momen beberapa saat lalu─saat mereka tidak adu mulut, dengan ajakan ini. Jadi jika besok ia mengatakannya pada suaminya, ia telah menyiapkan argumen. Karena sepertinya lebih sulit mengatakan pada ibu mertuanya bahwa mereka tidak bisa datang karena Sasuke tidak mau, dibandingkan meyakinkan suaminya untuk mau mengunjungi rumah orang tuanya.
Lagipula ia tidak mau suaminya seperti dirinya─jauh dari kedua orang tua. Pria itu akan menyesal nantinya. Pertengkaran antara anak dan orang tua adalah hal biasa. Tidak ada yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah.
Matanya baru bisa terpejam saat deru napas Sasuke telah teratur. Tertidur dengan nyaman sambil menghadapnya. Ia dan Sasuke tidur dengan nyaman malam ini.
Saat ia bangun, Sasuke sudah tidak ada di sampingnya. Matanya terbuka dan melihat suaminya ternyata sedang bersiap-siap untuk jogging. Pandangannya beralih pada jam di nakas. Pukul enam pagi. Pria itu telah mengenakan training dan tengah mengikat tali sepatunya.
Ia meregangkan tubuhnya sebentar, sebelum benar-benar bangun. Ia tidak harus terburu-buru karena ia yakin ketiga anaknya akan bangun lebih siang. Terutama karena kemarin mereka bermain di luar seharian. Pasti lelah itu masih ada.
"Apa Ibu menghubungimu kemarin?" Ia mencoba membuka suara. Gerakan Sasuke terhenti sebentar mendengarnya.
"Tidak," gelengnya singkat.
Baiklah. Ternyata ibu mertuanya benar-benar tidak menghubungi Sasuke untuk undangan makan malam itu, selain dari dirinya saja.
"Ada apa?" tanya suaminya akhirnya, setelah ia larut pada pikirannya sendiri beberapa saat.
Ia membasahi bibirnya sejenak. "Ibu mengajak kita makan malam keluarga seperti biasa minggu depan. Kau mau kan, suamiku?" Suaranya hati-hati. Matanya terbuka lebih lebar berusaha meyakinkan suaminya.
Kening Sasuke berkerut. Ekspresinya yang semula biasa saja, berubah tidak baik.
Ia menarik kedua sudut bibirnya, menatap Sasuke dengan senyum separuh yang mungkin bisa mempengaruhi suaminya─harapannya.
"Bagaimana, hm?"
"Bilang saja tidak bisa." Suaranya berubah ketus. Sudah ia tebak. Ini tidak akan mudah.
"Bagaimana caranya aku mengatakan tidak bisa? Kalau pun kau yang tidak bisa, aku dan anak-anak pasti akan tetap ke sana. Kami tidak memiliki alasan untuk tidak bisa datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbroken Felicity #1 ✔
FanfictionDi Ise City kau harus hidup bahagia, walau mungkin tidak pada kenyataannya. Hidup disana penuh tekanan. Berpura-pura adalah hal paling mahir yang harus kau lakukan. Sasuke adalah suami arogan. Keangkuhannya membumbung tinggi hingga ke langit-langit...