Hujan

1.2K 190 119
                                    

Enggan berlama-lama larut dalam lara, Kisan akhirnya bangkit dari duduk. Memindahkan sepatu Kamala yang mulai berdebu ke rak terdekat kemudian membersihkannya menggunakan tangan. Setelah dirasa sepatu itu mudah ditangkap mata Kamala saat melintas, dengan kata lain posisinya kini strategis Kisan pun mengeluarkan motornya dari garasi dengan wajah kusut.

Suara motor yang mengaung terdengar. Jarum spidometer mulai naik menyusuri angka demi angka yang terpatri. Kisan melajukan motornya perlahan, tamparan halus udara pagi menerpa mukanya. Membuat durja rupawannya merasa sejuk, membuat matanya menyipit karena tak kuat menahan cahaya mentari.

Seragamnya berkibar, kala itu komplek masih sepi, jejeran mobil yang terparkir di bahu jalan masih menyesaki pertanda tiap maujud yang ada belum memulai aktifitas sebagaimana mestinya. Hal ini akan jadi sangat menguntungkan karena mata Kisan bisa dengan leluasa mengamati tiap inci komplek tempatnya tinggal secara detail.

Napasnya tertahan. Terkesima kala dua ban beroda itu membawanya melintasi satu tempat yang sangat ingin ia hindari. Entah melamun atau bagaimana, Kisan tidak sadar saat tangannya membawa ia ke Taman Komplek ini secara tidak sengaja. Melihat ayunan dan perosotannya kini mulai lapuk tergerus waktu, melihat cat-cat yang menyesaki sisi dinding sudah mulai mengusam entah mengapa selalu membuatnya teringat Kamala.

"Sial."

Kisan mengusap kasar cairan yang mengalir dipipi. Lantas begitu saja, memacu laju motornya lebih cepat dijalan.

🌠🌠🌠


Bangku itu dingin. Tak berpenghuni, samasekali tak pernah ditapaki. Kamala menatap kosong pada papan tulis yang tengah menyajikan sederetan bait kata kosong, tak teraba akalnya.

Suara riuh yang berasal dari puluhan nada yang bercokol menjadi suatu bising mengganggu, entah mengapa samasekali tak bisa dirasakan rungu.

Ia mati rasa.

Kamala mulai kehilangan fokus akan pelajaran hari ini. Ia seakan menjadi sosok tanpa jiwa yang bernaung dibawah batu-batu pekuburan lama.

"Mal." Sura menepuk bahu Kamala pelan. Ada bagian lain dari dirinya yang merasa muak akan tingkah kawan sebangkunya yang tak kunjung membaik.

Kamala bergeming.

"Kamala." Kini, Sura menepuk bahu kawannya lebih keras, hingga perlahan, Kamala menggulirkan bola matanya tanpa mengucap sepatah kata.

Dapat dibayangkan, bola mata yang dingin, wajah pucat dan raut sekaku jemuran kering itu tengah beradu pandang dengan Sura--yang kini terdiam, kehilangan andil akan tubuhnya.

Ia lupa akan apa yang harus ia katakan.

"Kalau sakit, mending ke UKS. Gue anter." Sura menyarankan, tatkala hatinya merasa khawatir karena wajah kamala kian pias seiring dengan waktu yang berlarian pergi.

"Sura, nggak usah. Gue disini aja."

Sura berdecak. Luar biasa muak. Kamala Gersa, benar-benar keras kepala.

"Lo kalau ada masalah, bilang. Gue gak akan tahu kalau lo nggak ngomong, Mal! Kepala batu, kalau sakit jangan sok jago deh, lo! Buruan ikut gue, atau gue seret lo sekarang juga?!" Sura bangkit dari duduknya. Membuat Pak Joko yang tengah mengajar mengeryit melihat Sura yang tiba-tiba bangkit.

"Sura mau nganter Kamala ke UKS, Pak. Dia sakit." Sementara Pak Joko mengiyakan, matanya kembali menyorot buku cetak tebal yang ada di hadapannya.

Kamala mengikuti langkah Sura, membawa keduanya menuju lorong sepi yang membentang hingga ujung kelas-dua-belas berada.

--MoonStar--Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang