Perjalanan Waktu

749 148 63
                                    

Mari kembali pada masa dimana dunia masih begitu lugu dan murah memberi nasib baik pada manusia. Mereka memberikan emosi yang seimbang hingga tak menimbulkan pertentangan. Tak ada yang melanggar hukum Tuhan, hanya saja mungkin manusia-manusia naif ini terlupa untuk menjaga orang yang dikasihinya. Hingga pada setelahnya, para hakim langit tetap mempergunjingkan nasib yang hendak dihadapi mereka, hendak dibawa ke mana? Apa mereka sanggup menjaga? Jemput ruh-Nya, dia tidak kompeten!

Katanya, saat kamu tertawa, ada bayaran yang harus kamu keluarkan untuk mendapatkan itu.

Ada bayaran yang harus kamu keluarkan, tangisan kah? Usaha kah?

Tak ada yang mesti di salahkan, cerita semesta tak pernah bosan menunggu untuk didengar. Ini bukan salah si sulung.

Ini hanya takdir yang harus direlakan, diikhlaskan sepenuh hati, maka nanti biar angin yang memupus jejaknya. Biar ketiadaan yang menumbuhkan kenang.

Teruslah hidup, teruslah bernapas,  jangan khianati tiap detak yang mati-matian memintamu tetap ada.

Ciwidey---Mei---terputus.

"Kisan, ayo tebak tinggal berapa tahun lagi sampai kita bisa pakai seragam putih abu?" Seorang pemuda begitu antusias berbicara. Di ruang yang begitu sempit ia duduk berdesakan dengan saudaranya, kantong pembungkus terjejal di sana-sini beberapa diantaranya bahkan harus Kamala taruh di pangkuan.

Seseorang lain yang tengah Kamala tarik atensinya hanya menggeram malas dan melempar pandangannya ke luar jendela yang berembun.

Kamala menarik nafasnya dengan sabar, kerja jantungnya melambat untuk sesaat meski setelahnya kembali berdetak dengan normal. Ia mencebikkan bibir dan meledek orang di sebelahnya,"Nyenyenyenye!" Lantas matanya berotasi, iris kelam itu kini bertumbukan dengan kepala pak Tadjendra yang menyembul dari kursi pengemudi.

Berbicara dengan Kisan Aswangga itu sangat sulit, lho. Bikin pening! Bahkan mungkin, dari sejak berada di rahim sang Ibunda, Kisan itu tipe bayi yang sukar diajak bicara dengan manusia! Bahkan Kamala saja kewalahan dengan sikap Kisan yang bertingkah seolah-olah dia keren saat diam--padahal memang keren, sih.

Kisan jutek sekali. Sebal.

Dengan sedikit ragu Kamala lalu menarik ujung baju Kisan, matanya mengerjap cepat dan perlahan manik paling terang sejagat raya itu mulai menguarkan gemilangnya. Pemuda itu menaruh fokus yang tinggi dan berharap di satu masa saudaranya mau berbicara dengan baik padanya.

"Kiki! Mala lagi ngomong sama kamu!"

Kisan akhirnya mau menegakkan tubuh dan berhenti bersikap seperti jompo, ia menoleh dan menatap tepat di mata saudaranya. Lalu mendesis seperti suara cerek yang menguarkan uap.

"Kalau kamu lupa, aku tuh abis cabut gigi, Tuan Gersa." Untuk membuktikan ucapannya Kisan membuka sedikit mulutnya namun tak lama karena setelahnya ia meringis dan memegangi pipi. Ah, tapi setelahnya Kisan kembali berbicara, tetapi kini ia nampaknya sedikit merajuk. Tangannya ia lipat di dada dan pandangannya ia putuskan dari netra kelam milik Kamala.

"Huh! Ini salah kamu! Tiap malem selalu suapin aku permen, gigi aku jadi bolong dan harus dicabut, tau!"

Bola mata Kamala mengerjap pelan, lalu kepalanya ia miringkan ke kanan.

Syahdan, meski tak gatal, ia menggaruk tengkuknya dengan kikuk. Kamala nyengir kuda, terlalu lebar bahkan sampai membuat pak Tadjendra yang mengintip dari kaca tengah sedikit terkejut dan melotot kaget.

"Hehehe, aduh, iya! Mala kok bisa lupa, ya? Padahal, kan tadi aku yang nemenin Kiki nangis di toilet karena takut cabut gigi."

"Kiki jangan ngambek, dong? Ih, sok imut! Pipinya gak boleh digembilin kaya gini! Mala jadi gemes pengen nyubit!" Pemuda itu kini menggoda saudaranya yang tengah belingsatan mencoba untuk menghindar. Meski mencoba untuk bersikap tak acuh dengan eksistensi sang adik, nyatanya si sulung akhirnya luluh juga dan berhenti menatap pada jalanan yang menyajikan hamparan aspal dan gedung pencakar langit. Ia akhirnya duduk dengan nyaman dan berhenti melipat tangan di dada. Tapi cebikan yang lolos dari bibirnya membuat Kamala yang tengah menenggak kopi kalengan menoleh penasaran,

"PIPI AKU BENGKAK, BUKAN SOK IMUT IH, MALA!"

Kamala tersedak oleh tawanya yang tiba-tiba. Cairan kopi tak sengaja tersembur dari hidung, Kamala tertawa dengan cara paling menyedihkan, tertawa-batuk-tertawa lagi-batuk-mengusap air mata-dan, lalu meraih kerah kisan untuk minta diambilkan botol minum yang ada di samping tubuh si sulung.

Tak dapat dipungkiri, Kisan akhirnya panik juga saat batuk sang adik tak kunjung rampung. Ia membantu sang adik untuk minum dengan memegangi botol dengan satu tangan serta tangan lainnya turut andil dengan menepuk pelan punggung sang adik.

"Kebiasaan ngetawain kakaknya, jadi keselek, kan?!"

Kamala yang tengah mengatur nafas kembali terkekeh, "Omo omo, makasih kakak Kisan udah bantuin adik Kamala minum!"

Kisan bergidik. Ia menutup botol yang isinya tinggal sedikit lalu melemparnya ke pangkuan Kamala yang dipenuhi kantong plastik berwarna kuning.

"Banyak main sama Haikal, kamu jadi sering bilang 'oma-omo'!"

"Ini yang ngajarin Sagara! Pake bawa-bawa nama Haikal, lagi! Bilang aja kamu iri karena gak bisa ngomong 'omo-omo' kaya aku! Ih, malu huu~"

Tanpa banyak bicara lagi Kisan memejamkan mata dan menyandarkan tubuhnya dengan nyaman, ia mencari posisi nyaman dan menemukan pundak Kamala sebagai tempat terakhirnya.

"Kiki mau tidur! Jangan dijailin!"

Sementara Kamala hanya menoleh sebentar dan menyentil dahi Kisan menggunakan jemarinya.

"Mimpi indah, Kiki!"

Sebelum segalanya terjeda oleh waktu, dihilangkan oleh takdir dan terputus oleh kenang, sambil memejamkan mata dengan damai, Kisan kembali angkat suara, untuk terakhir kali karena di menit setelahnya ia kembali dilesakkan oleh mimpi.

"Dua tahun lagi. Dua tahun lagi, aku janji, di hari pertama kita masuk sekolah dan pakai seragam putih abu. Hari itu aku yang bakal bonceng kamu ke sekolah pake sepeda, sebagai kakak yang nganterin adiknya pergi ke sekolah, sebagai teman yang selalu nemenin kamu biar nggak sendirian. Sebagai Kisan yang meski gak pandai bicara, bisa bikin saudaranya tenang berada di tempat yang begitu asing. Aku janji. Selanjutnya, biar Tuhan yang menyempurnakan keinginan aku dan mengubahnya menjadi kenyataan.

Maka dari itu,
Kamala, teruslah hidup!
Terus tersenyum, biar--" Kisan menguap dan terus menghirup aroma bayi yang menguar dari tubuh saudaranya,

"Biar Kisan juga gak merasa sendiri dan tahu bahwa setidaknya, ada tiga orang di dunia ini yang Kisan sukai senyumnya. Mama, Papa... Mala."

Suara dengkuran halus terdengar, menyisakan Kamala yang tersenyum di tempatnya, serta pak Tadjendra yang tengah mengundi takdir anak manusia dengan membuat peruntungan membanting stir ke arah kiri. Membuat alok-balok kayu yang asalnya bersemayam di tepian jalan serta-merta dipatahkan oleh besi yang menderitkan bumi untuk beberapa detik, mobil sempat kehilangan kendali sebelum keteledoran sang supir untuk mengunci pintu rapat-rapat membuat tubuh anak manusia dan beberapa barang lainnya terlempar bebas ke luar.

Tempat yang menganga ditumbuhi belukar bersisian dengan mobil yang tepat berhenti di jalan paling sisi. Pintu belakang sebelah kiri menganga lebar, suara debuman dan ranting patah mencucuk pendengaran tiap manusia yang ada di sana.

Kemudian seperti lecutan cemeti, tiba-tiba saja sekelebatan waktu Kamala dibawa pada kondisi yang membuatnya merasa begitu bebas, ringan, dan--

--terbang.

-

Berlanjut ke bagian dua.

Halo! Ketemu lagi sama Kiki dan Mala dua kembar paling solid se-Bima Sakti!

Ada salam dari dua saudara ganteng, kata beliau, makasih banyak udah myempetin baca dan meninggalkan cinta di sini.

Makasih karena udah begitu mencintai Kiki dan Mala, ya?

Hng, dan, semoga kalian suka!:(

-Nabda Nadindra
2020

--MoonStar--Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang