Tempat jatuhnya Kamala tadi kini dikerubungi oleh suara bising sirine dan beberapa tangis sumbang milik seorang yang entah sejak kapan berdiri tepat di sisi jurang.
Mobil polisi diparkirkan tak jauh dari lokasi kejadian, Pak Tadjendra ditanyai sesuatu, bisa Kisan lihat ada guratan keterkejutan juga rasa bersalah terlukis di wajah supir pribadinya.
Kisan bangkit, berjalan terseok-seok meratap pada sekelompok orang nun jauh di dasar sedang menyusuri dan mencari eksistensi saudaranya.
Kisan pikir, siang tadi baru saja mamanya meminta ia dan Kamala untuk mengambil pesanan kue di daerah pinggiran kota, masih hangat ingatannya saat beberapa menit lalu ia dan sang adik tengah beradu mulut saling menggoda. Ini terlalu mengada-ada untuk dikatakan sebagai takdir.
Terlalu cepat, bahkan saat sebelum mimpinya berlabuh jauh, mendadak ada jerit tertahan seorang pemuda yang sungguh mengoyak pendengaran serta membuat Kisan begitu saja terjaga.
Lidahnya mencecap rasa asin, rungunya mendengar ada suara seseorang yang menangis, seperti kepingan film kuno, bayangan adiknya dari awal mereka tumbuh silih berkelebatan dalam benak.
Huu~ Kiki cengeng, nangis telus kaya bayi huuu~
Kiki, sakit huhuhu.
Ayo ikut Mala main ke taman!
Mimpi indah, Kiki!
"MALA!" Kisan terduduk di aspal dengan pasrah, sepatunya hilang sebelah entah terjatuh di mana. Yang jelas, kini ia tengah mencoba menggapai dasar dengan mengulurkan tangannya ke bawah membuat tempat yang dijadikannya sebagai tumpuan jatuh terperosok ke bawah, beruntung ada seorang--yang entah siapa--yang dengan sigap menariknya ke tempat aman.
"KAMALA, KAMU UDAH JANJI UNTUK TERUS HIDUP DAN BERANGKAT SEKOLAH BARENG AKU! PEMBOHONG! CEPET NAIK, SINI!"
Kisan terus meronta dan menggapai pada jurang yang dalam. Seorang paramedis memeluknya dan meminta Kisan untuk bernapas dengan baik, karena sejak tadi, alih-alih memikirkan keselamatan dirinya, otaknya terus menanyai pada apa saja yang ada di dekatnya. Meminta, dan terus berharap pada sebuah takdir yang memciptakan satu antitesis paling mutlak.
Kembali atau pergi.
Dengan segenap hatinya, saat tubuhnya ambruk dan merebah di aspal bersama dengan sekuntum doa yang tak pernah padam terucap, Kisan menyiulkan harap pada makhluk Tuhan yang lain agar menyampaikan kabar pada saudaranya yang hilang. Bukan mati, Kamala hanya hilang, protes hatinya.
Rumput, bawa Kamala pulang.
Tubuh Kisan mengejang, serta-merta tangannya meremas keras pakaian yang dihinggapi debu.
Angin, tiupkan kabar pada Kamala untuk kembali dan tidak ingkar janji.
Tubuh layunya dibaringkan pada sebuah brankart dan berakhir di sebuah perut mobil ambulans yang berisi peralatan medis.
Kerikil, labuhkan takdir Kamala, pelihara ia dengan selamat dan tunjukan jalan paling benar untuk kembali.
Otaknya memadamkan kerja tubuh, dalam hembus nafas yang sebentar-sebentar terputus, ada harapan seorang anak manusia yang dimunajatkan pada sang Pencipta.
Tuhan, jaga adik Kisan agar selalu bernapas dan menepati janji.
Sebagaimanapun semesta berupaya menggunjing dirinya, memperoloknya, serta mempermainkan takdirnya. Pada setiap pompaan jantung yang menyalurkan darah, terkandung doa-doa baik yang selalu menyertai agar Kamala baik-baik saja.
Denyut nadinya pantang untuk berhenti, dalam jiwa seorang mortal yang pasti akan menemui hal yang dinamakan maut, Kisan bersumpah akan membawa saudaranya kembali. Dengan segala kenaifannya ia berjanji akan membawa adiknya pulang dalam dekapan.

KAMU SEDANG MEMBACA
--MoonStar--
Teen FictionDua hal yang nampak sama namun realita mengatakan mereka berbeda. Bak bulan dan bintang. Mereka sama-sama indah dan berharga. Tampil dalam molek yang sama, dan bersinar dengan cara mereka sendiri. Akan tetapi, meski bulan dan bintang memiliki asma y...