Mata Hujan

34 2 0
                                    

Langit malam ini penuh dengan gumpalan kapas-kapas hitam yang pekat. Membawa suara-suara gaduh berseling dengan kilatan-kilatan cahaya yang menakutkan. Berhembus angin-angin pembawa rintik hujan. Seolah-olah sedang membawa kabar tak menyenangkan. Seperti halnya hatiku, abu-abu penuh dengan prasangka-prasangka.

Waktu menunjukkan pukul 20.00. sampai detik ini pun aku tak mendapatkan kabarmu. Sehari penuh aku layaknya terkurung dalam penjara tak kasat mata, bagaimana mungkin aku bernafas lega sedangkan jantungku yang kau bawa entah kemana kabarnya. Pun menerima kabarmu, hanya sebatas pesanmu saja aku tak tahu. Memang kita hanya sebatas teman, teman dekat nyatanya tapi apakah kehangatan yang kita ciptakan selama ini hanya gurauanmu semata. pertanyaan-pertanyaan semacam itu selalu berkecamuk dalam hatiku.

"ting tung"

"ting tung"

"ting tung"

Suara teleponku berbunyi, kusambut dengan antusias karena aku tahu itu adalah telpon darimu, orang yang selalu ku tunggu di setiap detik nafasku.

Kedekatan kita semakin menjadi. Setiap hari bercengkrama denganmu membuatku semakin jatuh kedalam jurang kenyamanan. Hal yang membuatku resah. Resah apakah dirimu mempunyai rasa yang sama atau hanya aku yang terjebak dalam kenyamanan. Kenyamanan adalah sesuatu hal yang menjebak, menjebak cinta yang harusnya indah namun berubah menjadi duka.

"ian kamu dimana" terdengar suara isak tangismu

Deg,

Jantungku berhenti, nafasku hilang untuk beberapa saat. Kekhawatiranku semakin menjadi tatkala mendengar isak tangismu dari sana. Rasa yang awalnya bahagia –karena akhirnya kau menghubungiku– kini berubah menjadi penuh tanda tanya.

"kamu kenapa diba ? kamu dimana ?"

"aku butuh kamu, tolong aku"sahutmu sambil menangis.

"kamu lagi dimana, tunggu aku disitu, jangan kemana-mana"

Kupacu motorku menuju tempat yang kau tunjukkan. Kutarik gas sekencang-kencangnya seolah-olah jalan ini milikku. Aku tak peduli apakah nyawaku terancam atau tidak yang pasti aku harus segera menemuimu.

Tak berselang lama aku sampai di depan sebuh cafe, kujelajahi setiap sudut untuk mencarimu, hingga suatu ketika kulihat sosok perempuan yang sedang berduka di bangku pojok. Pandangannya seolah menerawang di luar jendela. Kosong dan sepi.

"kamu kenapa ?" tanyaku mendekatimu.

Kau memelukku, menenggelamkan wajahmu kedadaku. Sedetik kemudian tanpa terasa air hujan pun turun dari mata indah itu. kau menangis sejadi-jadinya. Aku layaknya robot, yang tak dirancang untuk keadaan seperti ini, diam membisu melihatmu bersedih hati. Yang bisa ku lakukan hanya membalas mendekapmu erat.

"menangislah kalau memang itu bisa membuatmu lega" bisikku.

Pandangan orang-orang yang mulai tertuju padaku, kuacuhkan setiap mata-mata yang menyiratkan tanda tanya di setiap sorotan matanya. Mata-mata itu seperti menghukumku karena membuatnya bersedih. Seperti itulah fikiran orang-orang milenial yang mengaku pintar tetapi nyatanya sikap mereka yang menghukum tanpa tau permasalahan sangat berbanding terbalik dengan sebutannya. Takku hiraukan setiap sorot-sorot mata yang menyakitkan itu, yang jelas aku ingin dirimu selesai untuk malam ini.

"teruskan, aku siap menunggumu sampai kamu lega " bisikku.

Kau semakin erat memelukku. Entah apa aku harus senang atau iba. Perasaan itu bercambur aduk dalam dimensi hatiku. Kubelai rambutmu –mencoba menenangkan. Batinku semakin bertanya-tanya apa yang membuatmu seperti ini. ingin sekali bibirku berucap mengenai apa yang terjadi, tapi melihat kondisimu seperti ini kuurungkan niat.

Aksara K.A.T.A Sebuah Perjalanan Tentang Arti Memiliki (Akan Terbit)Where stories live. Discover now