Aku mengerjapkan mata saat getaran ponsel membangunkanku dengan paksa. Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan, memang sudah siang, tapi aku terlalu mengantuk jika memaksakan diri bangun setelah begadang untuk mengerjakan laporan yang belum selesai.
Xiumin menelponku.
Pria dengan nama asli Kim Minseok ini menghubungiku setelah memberikan bom pesan yang tak kunjung aku baca sejak semalam. Sepertinya aku terlalu fokus bekerja, kacamataku saja masih menempel di atas rambut karena lupa tidak kulepas.
“Ahh, selimutnya …” gumamku sambil mengangkat panggilannya. “… halo?”
“Kenapa suaramu serak begitu, eoh?” tanyanya tanpa menjawab salamku. “Baru bangun?”
“Apa pedulimu, sayang?” tanyaku sambil terkekeh dengan dibarengi menarik selimut. “Ada apa menelponku?”
“Tentu saja menanyakan apa yang kau lakukan sejak kemarin malam! Aku mengantarmu ke rumah sekitar pukul delapan, lalu dua belas jam kemudian aku tak mendapati kabarmu di saat jelas-jelas kau pulang dengan selamat bersamaku.”
Aku terkekeh lagi, jarang sekali Xiumin mengomeliku. Meskipun penuh akan perhatian dan lagi sikapnya sangat manis, kalau di luar dia akan selalu menjaga image. Misalkan mendadak bicara dengan nada super rendah sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, oh, jangan lupakan wajahnya yang sok serius itu.
Menggelikan.
Tapi memang aku yang menyuruhnya demikian, sih.
Selama 7 tahun bersamaku, tak jarang aku dapati para perempuan yang menunjukkan ketertarikan mereka pada Xiumin. Entah dengan cara yang terang-terangan, sampai yang diam-diam tapi punya niat terselubung. Well … ini lebih menjengkelkan.
Toh ketika aku memintanya untuk membatasi keramahan, dia menyanggupinya. Aku pikir ini tidak akan masalah baginya, karena Xiumin tidak benar-benar berubah hingga mengharuskannya menjadi diri orang lain.
Oh, iya. Aku hampir lupa kalau sedang diomeli sekarang.
“Apa aku perlu ke rumahmu?” tanyanya.
“Tak perlu, nikmatilah hari liburmu,” jawabku memejamkan mata.
“Mau kopi atau susu?” katanya membuatku menggumam tak jelas. “Roti atau nasi?”
“…”
“Oke, aku tahu jawabannya.” Aku tergelak setelah dia mengatakan akan datang ke rumahku dengan membawakan susu serta roti. Membiarkanku setidaknya tidur sampai pukul 10 nanti.
Hah~ terima kasih kekasihku~
***
Xiumin duduk di sampingku setelah menyimpan peralatan sarapan yang telat tadi di westafel, entah mencucinya atau tidak. Hmm… kalau dilihat dari menit yang sudah kulalui sambil menonton televisi, sepertinya dia mencuci piring.
“Tapi sudah selesai semua, kan?” tanyanya melanjutkan obrolan kami yang sempat tertunda. Aku mengangguk lemas, tak bergairah sama sekali. Setelah sarapan, aku malah makin mengantuk dan ingin tidur. “Jangan tidur~”
Xiumin membelokkan posisi dudukku sedikit lalu memijat pundakku dengan gerakkan yang sempurna. Sontak mataku terpejam keenakkan. Ya ampun! Sejak kapan kekasihku mendadak menjadi tukang pijat profesional begini?
“Kenapa sih kau harus bekerja keras sampai seperti ini? Kasihan tubuh dan otakmu, mereka perlu istirahat,” katanya sambil menyingkirkan beberapa helai rambutku yang tak terikat sempurna untuk melanjutkan kegiatannya.
“Aku tak suka bekerja setengah-setengah,” keluhku sambil cemberut. “aku juga lelah, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Ini mendarah daging.”
“Kalau begitu berhenti bekerja,” sahut Xiumin memaksaku untuk menatapnya barang sebentar.
“Ya sudah, nikahi aku.”
Seketika hening, Xiumin mengalihkan pandangannya ke sekeliling lalu memijat pundakku lagi.
“Lebih baik menonton atau karaoke?”
Hah~
Aku hanya menghela napas mendengar pertanyaannya yang out of topic itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Which one do you think is better...?
Fanfiction[FICLET] [EXO 06] Dia selalu memberimu pilihan. Karena baginya, kamu adalah keutamaan.