Xiumin mendekat, merangkulku lalu meletakkan kepalanya di atas bahuku. Ia terkekeh sambil menghirup napas dalam-dalam, kebiasaannya mencium bauku saat berdekatan.
“Aku rindu padamu,” katanya berbisik.
“Aku lebih daripada itu,” sahutku.
“Aku juga salah karena menutupi apa yang aku pikirkan darimu. Maafkan aku,” jelas Xiumin membuatku menggeleng pelan. Sebenarnya aku lebih merasa bersalah karena malah berlaku sangat cerewet daripada biasanya.
Keheningan membuat kami melamun bersamaan, aku menunggu Xiumin mengatakan apa yang selama ini menjadi beban pikirannya. Saat itu juga Xiumin menegapkan posisi duduknya, menghadap ke arahku dengan sorot yang sendu bercampur serius.
“Kau tahu sendiri pernikahan bukanlah hubungan yang mudah. Setelah mengucap janji nanti, kita akan memasuki dunia yang lebih serius dari sekarang. Kau takkan bisa begitu saja lari dariku jika ada sesuatu yang terjadi, begitupun denganku.”
“Aku selalu mengingat masa-masa di mana kita menjalin hubungan. Ternyata kita pernah putus juga, lalu kembali lagi, putus lagi, dan terus begitu sampai kita bertahan sejauh ini. Saat itu juga aku berpikir akankah kondisi seperti itu akan terulang lagi saat kita menikah?”
“Ternyata kita belum sedewasa itu dalam menjalin hubungan, begitu yang terlintas di kepalaku.”
Saat itu juga aku menghela napas, beban pikiranku tentang apa yang ada di kepala Xiumin kini terpecahkan. Tak sedikitpun aku ingin menyelanya, menyanggah atau protes walaupun aku tahu apa yang dijelaskannya sungguhlah berlebihan.
Tapi, namanya khawatir siapa yang tahu? Tiada yang bisa mengukurnya dengan pasti apakah itu berlebihan atau sebaliknya.
Lantas kugenggam tangannya, kuusap lembut sambil tersenyum menenangkan.
“Kita berpacaran, tentunya kita melakukan dan mengalami hal-hal yang orang pacaran lalui. Begitupun dengan dunia pernikahan, Xiumin. Nantinya kita akan melakukan dan mengalami hal-hal yang suami istri lalui. Dan aku yakin pikiran serta tindakan kita akan berbeda dengan yang kita duga sekarang.”
“Situasinya akan berbeda. Semua pasangan pasti merasakannya.”
“Aku menginginkan pernikahan bukan semata-mata ingin melihat keseriusanmu, tapi karena aku ingin kita lebih maju dari status yang sekarang. Artinya aku siap untuk menerima perbedaan dari status yang saat ini kita jalani. Aku akan menjalankan peran sebagai seorang istrimu, bukan kekasihmu.”
Xiumin mendekatiku, membuat hidung kami bersentuhan dengan gerakan yang lembut. Dia tersenyum dan demi tuhan aku merindukan ekspresinya itu.
“Aku lega,” katanya menatapku, menjauhkan sedikit posisi kepala kami agar bisa saling bertukar pandang. “aku lega karena kau berpikir begitu dewasa.”
“Ini sudah seharusnya,” sahutku sambil cemberut. “ah, menyedihkan sekali karena sebentar lagi aku berumur 30 tahun.”
“Kau berlebihan, lagipula kau akan tetap cantik,” celetuknya yang kurespons dengan nada ledekkan. Kucubit saja kedua pipinya dengan gemas sambil tertawa, sedangkan dia merenggut karena aku melakukannya dengan cukup keras.
Angin bertiup kencang, aku berhenti tertawa dan memasang ekspresi terkejut.
“Yak, bukankah di sini terlalu dingin?” tanyaku menautkan kedua tangan sambil meniupnya. Xiumin mendecak kemudian memisahkan tautan itu, menggantikan tanganku yang lain dengan genggamannya.
“Sini, aku hangatkan,” katanya. Kami kembali berkomunikasi seakan sebelumnya tak punya masalah, sepertinya penjelasanku menjadi obrolan final bahwa kami berbaikan.
Xiumin memasukkan tanganku ke dalam saku jaketnya sambil tersenyum. “Kenapa? Senyummu sangat tiba-tiba dan aneh.”
Begitu masuk, aku langsung menatapnya heran.
“Ada sesuatu di sakumu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Which one do you think is better...?
Fanfiction[FICLET] [EXO 06] Dia selalu memberimu pilihan. Karena baginya, kamu adalah keutamaan.