9

88 23 2
                                    

Walau obrolanku dan Kyungsoo membekas dalam ingatan, tak bisa aku elak bahwa sifat keras kepalaku tak juga melunak. Tanpa sadar seminggu sudah berlalu aku lalui tanpa mendapatkan kabar apa-apa dari Xiumin.

Kemarahan, kejengkelan dan kekesalan perlahan meninggalkanku bersama kerinduan. Aku lebih sensitif setiap harinya, pengaruh keberadaan Xiumin dan jadwal menstruasiku yang bertubrukan. Di sisi lain darah seakan-akan naik ke atas kepala, meledakkan emosi akan keadaan. Di sisi lainnya aku merasa lemah, sering merengek karena Xiumin membiarkanku seperti gelandangan.

Ahhh, kenapa aku gengsian begini untuk menghubunginya duluan?!

“Aku butuh pilihan,” bisikku merebahkan diri di atas kasur. “biasanya kau melakukan itu, Xiumin~”

Setiap malam aku selalu memutar ponsel, berharap Xiumin menghubungiku dan menawarkan sesuatu. Bertemu di minimarket terdekat atau ke rumahku saat rindu? Pizza atau jjajangmyun saat lapar di malam hari? Berkirim pesan saja atau sekalian menelpon sebelum tidur?

Mana yang lebih baik?

Mana yang lebih aku inginkan?

Sebegitunya perhatian Xiumin, sampai setiap saat selalu mengeluarkan pilihan. Aku merindukan hal itu. Merindukan pertanyaan pilihannya. Lalu bedanya dengan sekarang apa? Memangnya dia tak bisa memberiku pilihan untuk masalah ini? Misalkan …

Menikah sekarang atau menunggunya sukses dulu?

Menikah sekarang atau menunggunya membahagiakan keluarganya dulu?

Menikah sekarang atau menunggunya menabung biaya gedung?

Apa saja bisa jadi pilihan, kan? Mana tahu aku jadi mengerti akan keadaannya yang tidak juga melamarku sampai sekarang ini. Xiumin benar-benar tak mengerti perasaanku. Masa iya aku yang marah tapi aku juga yang lemah begini karena kehilangannya?

Demi Tuhan, menjengkelkan sekali!

Aku ingin menangis, tapi dengan melakukan itu membuatku malu sendiri. Ternyata aku masih cengeng untuk ukuran wanita yang sudah ingin menikah tentang persoalan asmaranya.













***

“Mau ke mana?” tanya Lami, keponakanku yang entah sedang apa di rumah orang tuaku malam ini.

“Apanya? Kau pikir aku mau hang out dengan pakaian gembel begini?” tanyaku malas sambil masuk ke area dapur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Apanya? Kau pikir aku mau hang out dengan pakaian gembel begini?” tanyaku malas sambil masuk ke area dapur. Malam Minggu kali ini aku sengaja pulang, di apartemen terlalu sepi dan aku tak suka. Belum lagi sore tadi tiba-tiba melihat poster di Instagram, film horror yang terakhir kali aku tonton bersama Xiumin.

Ya ampun, itu hantu perempuan berwajah menyeramkan jadi terbayang terus di pikiranku.

“Kenapa? Tumben kau tidak ke luar?” tanyaku menggodanya di dekat sofa. Lami memutar bola matanya malas sambil memindahkan channel TV. “Dasar bocah nakal. Baru SMA saja sudah berani main-main malam.”

“Siapa juga?! Waktu itu aku hanya murni datang ke pesta ulang tahun temanku!” sahutnya tak terima.

“Mana ada pesta ulang tahun menyediakan alkohol.”

“Ya tapi kau menyeretku pulang! Ah, sudahlah!” katanya cemberut, tampak kesal. Aku terkikik sambil pergi ke kamar, ingat kejadian di mana aku dipaksa pergi oleh ibunya Lami untuk menjemputnya. Xiumin mengantarku, ikut mengomelinya yang hampir menyentuh alkohol.

Aduh, Lami sangat beruntung sekali kalau punya saudara seperti Xiumin. Iya, kan?


DRRT!

Setelah meneguk air putih, aku mengangkat telpon dari nomor yang tak dikenal. Sebenarnya aku ingin meminta ayahku menjawab panggilan, tapi dia sudah masuk kamar.

“Halo?”

Halo? Kekasih Xiumin?” tanya orang di seberang sana dengan suara yang sedikit panik. Mau tak mau aku jadi kebingungan sendiri serta khawatir yang menjadi-jadi.

Which one do you think is better...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang