11

100 27 3
                                    

Selama perjalanan menuju apartemen Xiumin, Lami bisa melihat kalau aku terlalu perhatian padanya. Dia selalu menunjukkan gestur ledekkan saat aku khawatir padanya.

Memangnya salah? Ini manusiawi, tahu! Dia sedang lemah!

Xiumin benar-benar tak sadar sudah sedang dalam perjalan pulang. Heran. Sebanyak apa dia teguk minuman temannya, dan sebanyak apa temannya itu larutkan obat tidurnya?

Tapi bisa saja pengaruhnya yang terlalu lelah. Lagipula ini sudah malam, di mana semua orang harusnya beristirahat. Aku juga sama lelahnya, ingin ikut tidur. Tapi Lami menyetir untuk kami, aku sebenarnya sedikit khawatir.

“Itu bukannya temanmu?” tanyanya memelankan laju mobil. Irene ada di tepi jalan seperti sedang mencari sesuatu, lantas aku suruh Lami menghentikan mobilnya di depan temanku. “Benar, kan? Aku masih ingat saat menginap di apartemenmu yang dulu.”

“Irene?” panggilku membuka kaca mobil. Irene terkejut dan tertawa setelahnya sambil menyapaku. “Kau sedang apa di sini?”

“Aku mencari taksi tapi tak juga ada yang datang. Hei, menumpang sampai depan dong!” katanya mendekatiku sambil memohon.

“Aku pergi ke belokan itu,” kataku menunjuk dengan dagu belokan paling dekat. Mungkin dia bingung karena rumahku bukan ke sana, dan dia makin bingung karena aku memeluk seseorang. “mengantar dia.”

“Xiumin oppa? Heol, kenapa? Dia mabuk?” tanya Irene, aku menggelengkan kepala sebagai jawaban. Aku hanya menjelaskan sekadarnya, dan Irene sepertinya cukup mengerti dengan apa yang aku alami. “Ya sudah, aku ikut.”

Aku mengedikkan bahu sambil mempersilakannya masuk. Kalau dia memang ingin ikut ketimbang pulang, ya sudah.

Di sela-sela obrolan kami, Xiumin menggeliat tak nyaman. Aku langsung bertanya apakah dia kepanasan atau bagaimana, aku juga menawarkan air kalau-kalau dia haus. Omong-omong, Xiumin ini bisa berkomunikasi denganku kalaupun sedang tidur begini. Dulu dia pernah bercerita kalau fokusnya masih tersisa untuk menyahuti meski kadang tak tahu apa yang mereka komunikasikan.
Seperti orang mabuk.

Tapi aku lebih suka menyebutnya melindur.

“Kau mau kuselimuti dengan jaket atau begini saja cukup?” tanyaku membenahi diri.

Hemm,” sahutnya terganggu. Aku menyelimuti sambil menyuruh Lami mematikan AC-nya, mungkin Xiumin kedinginan.

“Mau air putih atau kita turun dulu beli teh hangat?” tanyaku lagi sambil menyingkirkan helaian rambutnya di sekitar kening. Dia mengatakan ingin air putih lalu membuka mulutnya saat aku menyondorkan botol minum. Irene sendiri mendecak kagum melihat interaksi kami, mungkin sedikit aneh baginya. Kalau Lami sudah biasa melihat ini.

“Lucu,” celetuknya sibuk menyetir. “biasanya Xiumin oppa yang menawarkanmu banyak hal.”

“Ha?”

“Yaaa… sejenis memberikan pilihan. Mau ini atau tidak? Mau itu atau apa?” katanya lagi sambil meloloskan kekehan. Aku berdeham sambil meliriki Irene, temannya ini membulatkan mulutnya sebagai bentuk lain menggodaku.

Berikutnya dia mengorek informasi hubungan kami dari Lami. Aku sudah tak bisa mencegahnya, Lami mulutnya mulus sekali untuk bergosip. Jadi dengan susah payah aku mengirimi Kyungsoo pesan untuk memintainya bantuan.

Aku tidak mungkin menggendong Xiumin sendirian ke apartemennya, kan? Berat tahu!

Sambil menunggu balasan, aku memperhatikan Xiumin dengan lekat. Tanpa kuminta semua kenangan kebersamaan kami berputar di kepala. Tapi bukan berarti setelah menikah hubungan kami akan memburuk, bukan? Justru kurasa akan semakin bahagia.

Apa sebenarnya yang diinginkannya?








“Kau mau aku pergi atau bertahan denganmu?” lirihku.

Which one do you think is better...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang