4

93 24 1
                                    

Well

Aku tak bisa menghentikan Irene. Kalimatnya terlalu menggantung dan akan sulit kujelaskan sendiri maksud tuduhannya. Selagi obrolan kami tak menjadi pusat perhatian seisi kafe, aku rasa tak masalah mantan tetanggaku ini mengoceh sesukanya.

“Kau ini bicara apa?” tanya Suho kaget.

Oppa ini lebih tua darimu, loh! Mau sampai kapan dia tak melamar temanku? Mereka menjadi sepasang kekasih sudah delapan tahun!” kata Irene yang diralat olehku.

Emm, tujuh tahun.”

“Iya kalau tahun ini dia tak juga melamarmu, tahun depan kalian akan bersama selama delapan tahun. Begitu maksudku!” kata Irene sewot, aku hanya berdeham sambil meliriki Xiumin yang tak menunjukkan ekspresi berarti.

Sejujurnya aku penasaran apa yang dia pikirkan. Selama ini hanya aku yang menyinggungnya soal pernikahan, sekarang Irene ikut campur tanpa aba-aba. Tapi ekspresi yang ia tunjukkan sama seperti ketika aku membahasnya. Datar.

Aku bertanya-tanya sekarang.

“Yah … itu bukan urusanmu juga,” sahut Xiumin tersenyum. Meski begitu, aku dan Irene tak bisa menyembunyikan kekagetan karena kalimat sarkasnya.

Oppa—"

“Kau ini benar-benar ya …” kataku memotong kalimat Irene. Ketiga orang di sana memperhatikanku yang kepalang jengkel akan respons Xiumin.

Aku sungguhan tak masalah kalau dia tak menjawabnya, itu akan terlihat alami karena Xiumin biasanya bereaksi demikian. Kalaupun ingin menyahut, haruskah dengan kalimat barusan? Selain terlalu sarkas untuk Irene, ini juga membuatku tak nyaman.

Xiumin seakan menganggap enteng hubungan kami.

Dia sama sekali tak memperdulikan kekhawatiranku selama ini.

“Apa kau serius padaku?” tanyaku. Xiumin menunjukkan gestur santai, aku dibuat makin jengkel karenanya.

“Serius,” jawabnya mengangguk. “kapan aku tak serius padamu, hmm?”

“Sekarang, Xiumin.” Panggilanku seharusnya membuat dia sadar bahwa aku sedang marah. Aku jarang sekali memanggilnya dengan nama karena dia lebih tua dariku. Hanya di beberapa situasi saja, seperti sekarang.

“Apa aku terlihat tak serius?” tanya Xiumin. Tatapannya mulai menunjukkan keseriusan, tapi aku tak mendapatkan jawaban atas persoalan ini.

Suho melerai dengan berusaha mencairkan suasana, walau dia pasti tahu itu sangat percuma. Irene kembali membuka suara dan mengutarakan isi pikirannya tentangku yang butuh lamaran jika dia benar-benar serius. Bahkan Irene harus dihentikan paksa oleh kekasihnya karena takut terlalu ikut campur.

Xiumin sendiri hanya meliriknya dan kembali menatapku.

Dia tak menunjukkan reaksi berlebih bahkan di saat aku sedang menunggu.

Akhirnya aku tertawa pelan, kekehan sinis yang tak bisa aku hentikan. Aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Tanpa peduli lagi akan seperti apa hasil dari obrolan ini.

“Ini bukan semata-mata tentang keegoisanku yang menginginkan pernikahan, Xiumin. Tidakkah kau berpikir bagaimana perasaanku selama ini? Kita menginjak usia di mana semua teman-teman sudah menikah bahkan punya anak, di mana orang tua selalu bertanya kapan kita berumah tangga, di mana aku sendiri harus mengulang pertanyaan memuakkan yang sama dalam benakku.”

Haruskah kita berpisah saja?”

“Kau pikir aku mau menjadi perempuan yang terkesan murahan karena memintamu untuk terus menikahiku?”

“Aku tahu kau serius dengan hubungan kita. Tapi aku tak tahu apakah ini benar-benar nyata adanya dengan aku mempercayai itu ataukah sebenarnya cinta yang sudah membodohiku.”

Xiumin mengembuskan napasnya sambil berusaha menggenggam tanganku, tapi gerakanku terlalu cepat menghindarinya.

“Aku lelah.”

Which one do you think is better...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang