Esoknya, aku terbangun sangat pagi saat mendengar suara-suara dari arah dapur. Terpaksa harus bergerak untuk memeriksanya, dan kudapati ibu sedang memasak di sana. “Apa?”
“Apanya yang apa?” tanya ibuku sambil menyimpan piring di meja makan. “Kenapa bahan makananmu sedikit sekali, eoh?”
“Aku belum belanja,” jawabku mendudukkan diri di kursi. “tumben? Sepagi ini pula.”
“Ayah berangkat ke luar kota pukul empat tadi dan ibu mengantarnya sampai bandara, sekalian saja sarapan di sini,” katanya membuatku mengangguk. Aku meneguk susu kala ibuku menarik pipi ini cukup keras. “Pastikan kau sudah sikat gigi, baru makan.”
“…”
“Aku melihat foto baru di dekat televisi. Sepertinya kau dan Xiumin makin dekat tahun ini,” katanya membuatku berhenti minum dan menatap ibuku kurang suka. “dia sudah melamarmu?”
“Please~ haruskah membahasnya sepagi ini?!” tanyaku spontan, membuatnya kaget. “Aku akan menikah dengan pria lain! Itu sudah menjadi keputusanku, mengerti?”
“Berani sekali kau meneriakiku, eoh?!” kata ibu memukul punggungku cukup keras, padahal maksudku bukan begitu, augh! “Apa salahnya kalau ibumu ini bertanya? Aku hanya tak ingin putriku menjadi perawan tua.”
“Aku juga tak mau!” rutukku cemberut. Kulihat ibu mendesah kesal karena pagi ini tiba-tiba aku menyulut api emosinya, tapi biar begitu dia mendudukkan diri di depanku sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kebiasaannya yang tak habis pikir dengan seseorang yang ia ajak bicara.
Dia tak bicara lagi, hanya menyendokkan nasi ke piring dan menyuruhku untuk setidaknya menyikat gigi. Namun aku tak beranjak. Omong-omong soal Xiumin, aku jadi ingin menceritakan apa yang terjadi kemarin.
Begitu curhatan pagiku keluar, ibu sama sekali tak menyela dan mendengarkan sambil menyuap sarapannya.
Barulah setelah selesai, dia hanya berkata, “Ibu tak mau ikut campur.”
Astaga! Ibu macam apa dia ini? Ya tuhan~
“Aku butuh saran, apanya yang tak mau ikut campur?!” rengekku menghentakkan kaki di bawah meja.
“Aigoo aigoo~ lihatlah dia, seperti anak kecil saja,” katanya menyimpan alat makan dan menatapku lekat. “kau mau aku memberi saran seperti apa, eoh? Dulu, kau sendiri yang berkukuh untuk bersamanya. Kau bilang dia adalah pria terbaik meski aku mencoba mengenalkanmu pada anak teman-temanku.”
“Jadi maksud ibu, ini semua salahku?”
“Memangnya bisa menjadi salahku?” tanya ibuku balik. Aku mengerucutkan bibir sambil mengambil telur goreng dan memakannya dalam sekali suapan, mengundang kemarahan dari ibu yang bilang bahwa anaknya ini sangat jorok.
Aku beranjak menuju kamar mandi karena mendengar omelannya, tapi belum benar-benar masuk, ibu membuka suara.
“Ibu selalu mempercayai apa pilihanmu selagi itu menurutmu baik, ibu akan tetap mengawasi kehidupanmu karena kau masih tanggung jawabku. Untuk masalahmu dengan Xiumin, ibu hanya bisa bilang bahwa kalian harus segera menyelesaikannya.”
“Apapun hasilnya, percayalah pada Tuhan bahwa itu memang yang terbaik untuk kalian. Meskipun keputusan yang buruk sekalipun.”
“Kau yang lebih mengerti Xiumin, ibu tak bisa memberi saran banyak.”
Dia menoleh padaku sambil menyuapkan nasi, tak bisa kutahan senyuman penuh akan rasa terima kasih. Meski interaksi kami layaknya seorang teman, ibu memang wanita yang selalu menjadi panutanku selama hidup. Wanita yang sungguh hebat.
“Kalau kau yang memutuskan untuk berpisah dengannya, pikirkanlah dua kali. Kau sudah terlalu tua untuk mencari pria lain.”
“Astaga, ibu!!!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Which one do you think is better...?
Fanfic[FICLET] [EXO 06] Dia selalu memberimu pilihan. Karena baginya, kamu adalah keutamaan.