17

103 24 1
                                    

Tidurku terusik saat Irene memeluk pinggangku dengan erat. Padahal aku sudah menyarankan untuk menyewa dua tenda agar kami bisa tidur lebih leluasa. Tapi dengan alasan ingin memuntahkan segala isi hati sebelum tidur, satu tenda dirasa cukup untuk kami beristirahat.

“Ini benar-benar sempit~” rengekku sambil menarik selimut. Kusempatkan melihat jam di ponsel yang menunjukkan pukul dua malam, aku menguap sambil kembali memejamkan mata.

Saat itu juga aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang terdengar cukup keras, seperti seseorang yang sedang berlari. Namun yang membuatku mengurungkan niat untuk kembali tertidur bukan karena suara gaduhnya, tapi karena suara monolognya.

“Dia tidur di tenda mana?!”

Kalau kalian pikir aku berkemah di hutan dan sejenisnya, itu salah besar. Aku memilih tempat wisata yang memang aman untuk dipakai berkemah, bisa memandangi langit malam seperti di atas gunung tanpa harus bersusah payah.

Aku bangun setelah menyingkirkan tangan Irene, perlahan kubuka tenda. Seseorang sudah berdiri tak jauh dari posisiku dengan napas yang terengah-engah.

Hng? Xiumin?” panggilku membuka lebar tendanya. Dia berbalik dan seketika berlutut di depanku, diperiksanya seluruh tubuhku dengan gerakkan yang cepat kemudian dia mencengkram erat kedua bahuku.

“Kupikir kau kenapa-kenapa!” pekiknya, marah.









***

Flashback:

“Kyaaa!”

Tuttt~


Irene terlonjak dan mundur beberapa langkah setelah melihat reaksiku, matanya membesar kemudian tertawa terbahak-bahak. Menertawakan ekspresi konyolku melihat masakan gagalnya.

“Kau lucu sekali!” katanya sambil memegang perut, tak tahan dengan bayang-bayang ekspresi terkejutku.

“Suruh siapa menunjukkan ikan gosong di sampingku begitu saja, eoh?!” pekikku mengejarnya dan melayangkan beberapa cubitan gemas. “Irene, aku benar-benar hampir saja terkena serangan jantung. Kau tahu?!”

“Mana ada?” tanyanya balik sambil melemparkan ikan gosong itu ke dalam kantung plastik sampah. Aku merenggut sambil memeriksa ponselku, sekarang baterainya malah lowbat. “Aku bawa powerbank, charger dulu sana.”

“Berisik!” rutukku kesal sementara ia masih asyik tertawa.

Flashback off.









***

Kini akhirnya kami berdua duduk di depan tenda setelah Suho datang dan menggendong Irene ke tenda baru yang sudah disewanya. Membiarkan aku dan Xiumin untuk bicara dan meluruskan masalah. Aku sempat heran darimana dia tahu posisiku, ternyata Suho membantunya melacak ponsel Irene.

Efek pintar dan punya alat-alat canggih.

Sejak lima menit setelah keributan, tak satupun dari kami yang berbicara. Biar aku tebak, Xiumin pasti merasa sangat malu karena tindakannya yang konyol itu. Mengira aku celaka atau bagaimana di saat aku tidur di tempat yang sangat aman dan nyaman.

Tapi sebenarnya aku tak ingin menunggu lebih lama. Karena kali ini aku yang ingin mengajaknya bicara duluan.

“Kalau memang ada sesuatu yang menganggu pikiranmu, kau bisa mengatakannya sejak awal,” kataku memainkan jari kanan dan kiri secara asal. “maaf. Sejak reaksi masa bodohmu kalau aku menyinggung pernikahan, aku cenderung to the point begini.”

“Tak masalah.”

Aku menoleh padanya yang sibuk memutar-mutar ponsel. “Xiumin …”

“…”

“Aku ingin berguna juga untukmu. Aku ingin tahu apa yang kau rasakan, supaya nanti bisa berinisiatif melakukan tindakan. Karena berapa kalipun aku memikirkannya, aku sungguh tak bisa menebak isi pikiranmu. Selama ini kau terlalu sibuk menutupinya dengan terus memanjakanku,” jelasku pelan.

Xiumin menatapku sambil tersenyum tipis.






“Kau tahu … aku sungguh menyukaimu,” kataku. “maaf ya…”

Which one do you think is better...?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang