BAB 11

55 13 1
                                    

Seperti biasa, Nathan sudah berada di stasiun.

Pagi ini memang mendung tapi tidak hujan, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Selama menunggu kereta, Nathan membunuh waktu dengan mendengarkan musik. Nathan tipe orang yang tidak terlalu suka keramaian seperti di stasiun tapi bukan berarti dia membenci nya, hanya saja, terkadang energinya cepat habis kalau berada di keramaian seperti ini dan butuh waktu untuk memulihkan nya. Hingga matanya tidak sengaja melihat kearah samping lantas tubuhnya membeku.

Aneh, reaksi ini terlalu aneh untuknya.

Bahkan jika mungkin, reaksi nya akan semakin aneh ketika orang itu menatap balik kearah nya dengan senyum tipis di wajahnya. Nathan berdiri dan menghampiri nya dengan langkah yang agak terburu-buru.

"Kenapa ada disini?" Tanya Nathan, melepaskan earphone nya dengan lagu yang masih menyala.

Milan tersenyum tipis, "saya hanya iseng ingin naik kereta. Ternyata ramai juga."

"Tiba-tiba?" Nathan mengangkat satu alisnya.

Milan tersenyum canggung, "aneh, ya?"

Nathan ingin memukul dirinya sendiri, apa pertanyaan nya seolah membuat Milan merasa menjadi orang aneh? Benar, tentu saja.

"Enggak, sumpah! Nggak gitu, sorry kalo gua salah ngomong. Cuma kaget aja, tumben banget naik kereta, biasanya kalo nggak salah ada yang nganter lo, kan?" Nathan meminta Milan mendekat agar lebih enak mengobrol nya.

Milan memasukkan kedua tangan nya ke dalam mantel putih milik nya. Bahkan Nathan tidak sadar kalau Milan memakai mantel putih serta scarf berwarna abu-abu. Rambut nya diikat menjadi satu dengan poni yang dibiarkan berada di sisi wajahnya. Terlihat cantik namun tidak membosankan.

"Oh, dia lagi ada urusan dan saya kebetulan saja ingin naik kereta." Jelas Milan. Mata cokelat nya terlihat berbinar. "Kamu sudah lama naik kereta?"

"Nggak juga," Nathan menatap kearah jalur kereta yang masih sepi itu. "Sekitar kelas dua udah naik kereta karena pengen aja."

Milan mengangguk paham. Keadaan ini sebenarnya tidak canggung, namun entah kenapa hanya Nathan yang merasa kalau dia agak gugup berada di sebelah Milan. Mungkin karena baru kali ini dia berbicara dengan Milan dan baru kali ini juga dia melihat Milan menaiki kereta yang sama dengan nya. Hingga ketika Milan tidak sengaja terdorong maju membuat Nathan secara reflek menyentuh tangan Milan. Tangan yang dingin tapi juga lembut secara bersamaan.

Waktu pun terasa berhenti untuk beberapa detik dan ketika Milan sudah bisa berdiri sendiri, Milan melepaskan genggaman nya pada Nathan dan tersenyum tipis.

"Maaf, saya nggak tahu di belakang saya ada orang." katanya, suaranya sedikit serak.

Nathan menarik mantel Milan dengan pelan hingga gadis itu maju beberapa langkah untuk dekat dengan nya. Perbuatan seperti ini sebenarnya tidak masalah untuk Nathan namun berbeda untuk Milan. Bagaimana cowok itu menarik lengan mantel nya agar tubuhnya lebih dekat dengan cowok ini, bagaimana tadi Nathan menyentuh tangan dingin nya sampai Milan sendiri kaget kalau tangan Nathan memang sehangat itu. Agak tidak rela tadi saat melepaskan nya.

"Sini deketan," Nathan berkata dengan suara rendah namun masih bisa terdengar jelas oleh Milan. "Jangan jauh-jauh, nanti lo bisa ilang."

Milan tertawa kecil, walau begitu matanya sedikit menyipit.

"Saya bukan anak kecil, Nath."

*****

Menjadi perbincangan hangat di sekolah bukan lah masalah bagi Nathan, tapi hari ini yang di perbincangkan adalah dirinya dan Milan yang berangkat sekolah bersama.

Itu hanya kebetulan dan Milan pun sudah bilang kalau hanya kebetulan bertemu, namun entah mereka yang keras kepala atau tidak mau mengalah sampai berita ini semakin panas saja. Bahkan Gilang, teman Nathan yang tidak terlalu suka dengan gosip, Rama yang tidak peduli dengan omongan sekitar dan Dewa yang biasanya menjadi most wanted di sekolah karena tajir tujuh turunan itu pun bertanya kepada Nathan kebenarannya. Hah, jika sudah begini apa boleh buat?

"Sumpah deh," Nathan mengaduk susu cokelat yang baru saja datang. "Cuma kebetulan."

Mereka berada di kafetaria yang berada tidak jauh dari sekolah. Karena guru sedang rapat dan juga Kafetaria yang masih berada di dalam sekolah walapun jaraknya agak jauh, mereka tidak masalah akan hal itu.

Rama menatap Nathan dengan mata menyipit. "Ya tau itu kebetulan, yang aneh nya tuh kok Milan mau bareng sama lo? Secara, lo ini bukan termasuk tipe nya."

"Anjing?" Nathan mengumpat kasar.

"Lah iya," Dewa menyahut. "Tipe Milan bukan lo sih, jadi ya gitu. Ya, percaya sih kalo cuma kebetulan."

"Wa, serius lo ngomong gitu sama gua?" ucap Nathan, ngambek. "Jangan ngomong sama gua, ngambek sama lo."

"Kayak perawan, apa-apa ngambek." Arion menimpali.

Rama tertawa geli. Tidak heran kalau teman-teman nya itu mengejek nya karena Milan mau saja berangkat bersama Nathan. Walaupun begitu, Nathan sadar satu hal. Milan adalah teman mengobrol yang asik. Dia cepat mengerti banyak hal, dia juga seru di ajak berbicara tentang hal random. Sebenarnya Nathan tidak mengira kalau Milan akan seasik ini. Maksudnya, Milan itu orang yang tidak terlalu dengan orang lain apalagi sembarang orang. Kenyataan, Milan cukup enak dijadikan teman berbicara.

Saya sih sebenernya tidak masalah berteman dengan siapa saja. Kata gadis itu ketika di kereta yang terbilang sepi. Mungkin karena sebuah aturan mutlak yang membuat Milan tidak bisa berteman dengan siapa saja, pikir nya saat itu. Wajar saja, Milan pewaris utama keluarganya dan aturan tentang dirinya yang tidak bisa berteman dengan sembarang orang membuat gadis itu terlihat tidak tertarik dengan apapun di sekolah.

"Oh, lo tau nggak." Gilang membuka suara sambil mengaduk jus jeruk. Aneh karena cuaca dingin seperti ini malah meminum es. "Katanya bakal ada acara di sekolah, cuma belom tau sih acara apa."

"Tau dari mana?" Rama menyahut.

"Anak OSIS, dia spoiler duluan ke gua."

Waktu satu jam sudah cukup membunuh waktu hingga akhirnya mereka memilih untuk kembali ke kelas. Lagipula, sebentar lagi akan ada pelajaran olahraga dan tentu saja jika Nathan tidak ikut, maka nilai akan di kurangi. Saat keluar dari kafetaria, cuaca masih mendung dan agak gerimis sedikit tapi tidak jadi masalah. Selagi Nathan memperhatikan sekitar dan tidak tertarik dengan obrolan teman-teman nya, matanya menatap lapangan luar yang tampak basah karena hujan dan seperti nya, hari ini akan menggunakan lapangan indoor lagi.

Namun, entah pikiran darimana, Nathan malah memanggil Rama hingga cowok itu menatap Nathan dengan aneh.

"Kenapa dah?" Tanya Rama, cowok itu sibuk dengan scarf nya.

"Tipe Milan yang kayak gimana?"

 Milan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang