Silent-01

18.6K 543 14
                                    

"Shirin!"

Aku yang hendak masuk ke dalam rumah minimalisku, menolehkan kepalaku ke sumber suara. Aku tersenyum lebar menatap Arvin yang berdiri di teras rumahnya. Kami memang bertetangga sejak masih di dalam kandungan.

"Kenapa?" tanyaku.

Arvin kemudian berlari kecil ke arahku. Saat sudah sampai di hadapanku, Arvin tersenyum lebar. Senyum yang begitu sangat manis dan aku menyukainya. Tidak, bukan hanya senyumnya, tetapi aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Entah sejak kapan rasa itu hadir yang jelas aku hanya bisa menyimpannya dalam diam. Akibat terlalu sering bersama, apalagi bertetangga seperti ini membuatku harus memiliki perasaan lebih kepada Arvin.

"Aku mau ngomong sesuatu, Rin."

Aku mengernyit. Ini pertama kalinya aku melihat gelagat aneh Arvin. Sekarang ia tersenyum malu-malu, tetapi senyum itu malah membuat jantungku jumpalitan.

"Mau ngomong apa?

"Ngomongnya di taman belakang aja, ya." Arvin menyengir. Aku menganggukkan kepala lalu mengikuti langkahnya menuju taman belakang. Biasanya Arvin akan berbicara blak-blakan tanpa disaring. Namun, kali ini Arvin bergelagat aneh. Gelagat seperti orang yang akan mengungkapkan cinta.

"Rin, aku mau minta tolong. Boleh?" tanya Arvin tiba-tiba setelah kami duduk di bangku taman hanya berdua.

Aku terkekeh. "Kamu kenapa, sih? Biasanya juga langsung nyuruh-nyuruh tanpa embel-embel tolong," kataku.

Arvin menggaruk tengkuknya, ia menatapku dalam. Mendapat tatapan seperti itu, jantungku berdetak cepat dan badanku panas dingin. Aku yakin, hawa-hawa syaiton telah berkeliaran di sekeliling kami.

"Gini, Rin. Aduh, gimana bilangnya, ya? Aku bingung mulai dari mana." Arvin memang terlihat benar-benar bingung. Dia menghela napas beberapa kali.

"Emang kamu mau bilang apa?"

"Maryam, Rin." kata Arvin tiba-tiba. Dia kembali menatapku dalam. Aku menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutnya dengan jantung berdetak sakit. Entah mengapa aku merasa khawatir.

"Ada apa dengan Mar-yam?" Tenggerokanku tercekat. Menyebut nama perempuan yang akhir-akhir ini dekat denganku terasa sulit terucap.

"Aku menyukai Maryam, Rin. Akhir-akhir ini kamu dekat dengan Maryam, 'kan?"

Aku mengangguk susah payah. Rasanya aku ingin menangis. Aku yang sudah lama berada di depan mata Arvin, mengapa Arvin tidak pernah melirikku? Mengapa Maryam yang baru-baru ini datang bisa langsung membuatnya jatuh hati?

"Sejak pertama kali aku melihatnya di butikmu, aku langsung jatuh hati. Aku menyukainya, Rin."

"Kamu menyukai Maryam?" Aku tersenyum palsu. Sakit hati seakan menyebar ke seluruh persendianku.

Arvin mengangguk antusias, dia terlihat lega telah mengungkapkan perasaannya kepadaku.

"Rin, kamu mau, 'kan, bantuin aku deketin Maryam?"

Aku mengangguk singkat. Berat sekali rasanya. Ya Allah, aku harus apa? Mengapa perasaan ini begitu menyakitkan?

"Terima kasih Shirin. Kamu memang sahabat aku yang paling baik. Kalau aku sudah berhasil duduk di plaminan dengan Maryam, aku bakalan teraktir kamu sepuasnya." kata Arvin dengan mata yang berbinar senang.

Aku berdiri lalu berlari cepat meninggalkan Arvin yang beberapa kali menyebut namaku. Aku sudah tidak bisa menahannya. Lelehan air mata sudah membasahi pipiku. Aku tidak bisa menjabarkan bagaimana hancurnya hatiku sekarang. Arvin benar-benar telah mengenalkanku pada cinta dan patah hati di waktu yang sama.

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang