Rasa-03

3.4K 308 13
                                    

Gadis itu lebih banyak diam. Terkadang tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Sekarang adalah tugasnya menjadi kasir dan mencatat pesanan, terkadang gadis itu salah memberikan uang kembalian hingga membuat beberapa pelanggan protes. 

Maurin membuang napas pendek berusaha untuk berkonsentrasi mendengarkan pesanan seorang laki-laki di hadapannya. 

"Saya ulangi ya kak pesanannya. Coffee latte satu, caffucino dua, tiramisu dua, dan brownies satu. Totalnya seratus lima ribu." Maurin mengangkat kepalanya dan berusaha tersenyum. Bentuk keramahan kepada seorang pelanggan. 

Maurin mengambil uang yang diberikan kepadanya. "Kembaliannya empat puluh lima ribu ya, Kak," Ucapnya lalu memberikan uang kembalian. "Terima kasih. Silakan ditunggu. Pesanan akan segera meluncur." 

Namun, laki-laki itu hanya diam sembari menatap Maurin dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Maaf, bisa men-" 

"Lo kerja?" 

Maurin tersenyum. "Maaf, di belakang antriannya panjang," ucapnya mencoba mempertahankan nada keramahannya dan enggan menjawab hal yang ditanyakan laki-laki tersebut.

Menghela napas, mau tidak mau akhirnya Bilal hengkang dari sana. Menatap gadis itu dari bangku Caffe yang didudukinya. Maurin terlihat lelah dan beberapa kali gadis itu tertangkap sedang melamun.

"Kenapa lo ngeliatin Maurin mulu? Dia memang kerja di sini," seru Reno, menangkap gelagat sahabatnya yang terus saja memperhatikan Maurin.

"Lo tau?"

Reno mengangguk. "Gue sama Regi hampir tiap malam di sini. Ya, jelas tau lah."

Sementara Regi yang namanya disebut hanya menatap sekilas sepupunya lalu kembali fokus ke layar perseginya.

"Maurin sudah lama kerja di sini?" 

Entah mengapa, Bilal tidak bisa menahan rasa penasarannya. Laki-laki itu cukup memikirkan perubahan Maurin akhir-akhir ini yang tidak lagi menganggunya. 

"Sejak ibunya sakit tuh cewek sudah kerja di sini," jawab Reno sesekali ikut memperhatikan Maurin yang sedang sibuk melayani pelanggan. Gadis itu terlihat lelah sekali. 

"Lo tau?" tanya Bilal, lagi.

"Tau. Maurin sendiri yang cerita. Apalagi sekarang ibunya sudah gak ada, dia hidup sendirian. Siapa yang biayain kehidupan dia kalau bukan dia sendiri," jelas Reno. 

Terlalu sering mengunjungi Caffe tersebut hingga membuatnya cukup tahu banyak tentang gadis itu. Saat ibunya masih hidup, Maurin gadis periang dan tidak akan sungkan membicarakan kehidupannya, termasuk kepada Reno yang memang sering memberinya tumpangan untuk pulang sehabis bekerja.

Mendengar penjelasan dari sahabatnya, ada rasa tidak terima dalam diri laki-laki itu. Ternyata dirinya terlalu abai hingga tidak tahu kedekatan Maurin dengan sahabatnya sendiri.

"Kenapa? Lo mulai suka Maurin?" tanya Reno sembari terkekeh. 

Bilal memilih diam. Perasaannya tidak mungkin berubah, kan?

...

Maurin memperbaiki kunciran rambutnya yang melorot. Pukul sepuluh malam, Maurin baru keluar dari tempatnya bekerja. Melangkahkan kaki untuk pulang rasanya Maurin sangat malas, terlalu lelah karena seharian ini bekerja. Sampai di rumah nanti, Maurin juga tidak bisa istirahat lantaran harus mengerjakan beberapa tugas sekolah yang dikumpulkan besok.

Gadis itu melangkah pelan melewati jalan setapak yang diperuntukkan untuk pejalan kaki.  Beruntung udara malam yang segar dapat mengobati rasa lelahnya, tapi sepinya malam selalu membuatnya tidak lupa dengan kesedihan. Ketika membuka rumah nanti tidak ada lagi seseorang yang menyambutnya. Senyum ketenangan biasa yang diberikan untuknya juga telah tiada. 

Alasannya untuk sukses dan memperbaiki hidup sudah tidak ada lagi. Jadi, sebenarnya, untuk siapa ia hidup?

"Maurin..."

"Bilal?" Gadis itu mengusap kedua matanya yang basah dan menatap laki-laki yang kini berdiri sembari bersandar di pintu mobilnya.

"Naik, biar gue antar pulang," katanya. Memberi tatapan perintah kepada gadis tersebut.

Menggeleng, Maurin melanjutnya langkah. "Gak usah. Aku masih kuat jalan kaki."

Bilal berdecak. "Naik. Ini sudah malam. Bahaya buat lo!"

Langkah gadis itu kembali berhenti. "Kamu gak usah peduli!"

"Maurin, gue bilang naik!" 

"Kamu itu kenapa, sih?"

"Gue bilang naik!" 

"Kalau aku bilang nggak ya nggak! Kenapa kamu maksa?" Gadis itu berteriak kesal. Sungguh, hari ini ia sangat lelah dan tidak ingin semakin lelah karena laki-laki yang setengah mati ia hindari.

"Jangan keras kepala, Rin! Ini sudah malam!"

"Kamu yang keras kepala." Setelah membalas ucapan Bilal, gadis itu melangkah cepat. Sangat enggan jika harus pulang bersama laki-laki itu. Jangan ada yang bisa membuat pertahanannya runtuh untuk melupakan perasaannya kepada Bilal.

"Maurin!" Rupanya laki-laki itu tidak menyerah. Bilal mengejar Maurin dan berhasil menangkap pergelangan tangannya. 

Gadis itu menatap Bilal marah. "Kamu kenapa, sih? Aku sudah gak ganggu kamu lagi! Kamu mau apa sebenarnya?"

Bilal menatap Maurin dalam. Ia juga tidak tahu, mengapa tidak suka jika gadis itu tidak menganggunya lagi. Padahal selama ini, itu yang ia inginkan. 

"Lepasin!" Maurin meronta, namun cekalan tangan Bilal begitu erat.

"Lo gak suka gue lagi?" tanya Bilal tiba-tiba.

Pergerakan Maurin terhenti, gadis itu menatap Bilal datar. "Kamu yang gak pernah suka aku! Kamu suka Terra! Terra suka kamu! Aku yang jadi penghalang hubungan kalian! Kamu benar, aku memang benalu!"

Bilal terlihat terkejut. Rupanya gadis itu telah mengetahui antara dirinya dan Terra. 

"Kalian berdua kenapa gak bilang kalau kalian saling suka? Takut aku terluka? Nggak. Kamu gak tau Bil, gimana rasanya aku jahat banget sama Terra. Dia sahabat aku, tapi dia sembunyiin semuanya. Kalian berdua benar-benar buat aku bodoh!" 

Mata gadis itu memerah berusaha menahan tangis. Terbiasa ditinggalkan dengan rasa sakit sudah sangat biasa baginya, tapi sekarang ia hanya memiliki Terra. Gadis itu tidak ingin hanya karena seorang laki-laki persahabatannya hancur dan Terra menjauhinya. 

"Aku gak apa-apa. Aku sudah rela. Jangan karena perintah Terra, kamu jadi peduli ke aku!" Maurin menepis tangan Bilal dari pergelangan tangannya. Gadis itu berbalik dan kembali melangkah cepat. Ia hanya berusaha mempermudah segalanya. 

[...]

Gadis itu menghela napas beberapa kali. Menatap bangku di sampingnya yang kosong. Sudah beberapa hari ini Terra tidak masuk sekolah. Maurin juga tidak bisa menghubungi sahabatnya karena ia tidak memiliki alat komunikasi. Beberapa kali memiliki rencana untuk datang berkunjung langsung ke rumah sahabatnya, tapi bos tempatnya bekerja selalu tidak mengizinkan lantaran Caffe selalu padat pengunjung. 

Terra tidak pernah absen dalam waktu yang lama. Guru yang mengajar juga tidak pernah membahas ketidakhadiran Terra. Gadis itu semakin khawatir dengan sahabatnya. Kehidupan di akhir sekolah semakin tidak bisa ia rasakan karena dua minggu lagi ia akan dihadapkan dengan ujian nasional. Masa putih abu-abunya akan segera berakhir. 

"Terr, kamu ke mana, sih?"

[...]

-continue-

repost, 18 November 2023

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang