Silent-02

6.7K 489 12
                                    

Setelah satu bulan satu minggu berada di Aceh akhirnya aku kembali ke rutinitas. Aku menggeret koperku dengan rasa letih. Lelah sekali rasanya. Aku ingin cepat sampai kamar dan beristirahat. 

Aku menghela napas panjang saat pandanganku tak sengaja menatap rumah yang berdiri kokoh di samping rumahku. Selama berada di Aceh, perasaanku berangsur-angsur membaik. Nama Arvin sudah berhasil tersamarkan, tetapi ketika kembali menginjakkan kaki di sekitarnya, entah mengapa perasaan itu lagi-lagi kembali menjerat. 

Ya Allah, lenyapkan perasaan ini jika memang ia bukan ditakdirkan untukku.

Saat aku sudah hendak masuk ke dalam rumah, suara yang begitu kurindukan menyapa indera pendengaranku. Aku memejamkan mata berusaha mengontrol detak jantungku. Setelah apa yang terjadi terakhir kali rasanya aku belum siap untuk bertemu dengannya lagi.

"Shirin, kamu sudah pulang?"

Aku berbalik lalu memberikan senyumku. Entah bagaimana bentuk senyumanku sekarang dan aku tidak peduli.

"Kenapa kamu nggak pernah angkat telepon dari aku? Kamu juga nggak pernah balas chat dari aku?" 

Dua pertanyaan itu yang rasanya malas sekali untuk kujawab. Aku memang tidak pernah bertukar kabar dengannya selama berada di Aceh. Mengapa Arvin menganggap selama ini tidak pernah terjadi apa-apa? Tidak ingatkah Dia?

"Aku capek, Vin. Aku pengen istirahat." Hanya kalimat pendek itu yang bisa kukatakan. Aku memang benar-benar lelah.

Aku kembali berbalik tanpa mau mengobrol lebih lanjut. Aku memang merindukannya, tetapi rasanya sangat tidak pantas aku merindukannya.

"Shirin, aku minta maaf."

Aku kembali mengurungkan niatku untuk segera beristirahat. "Aku maafin. Lagian aku juga yang salah nerima khitbah dari orang yang sama sekali aku nggak tahu siapa orangnya," ucapku berusaha untuk tidak mengelurkan air mata. Mengingat perkataan Arvin bulan lalu, entah mengapa begitu sakit.

"Aku nggak bermaksud gitu, Rin.  Maaf, kalau kata-kataku nyakitin hati kamu. Aku benar-benar minta maaf."

Aku berbalik menatapnya sembari tersenyum. "Aku sudah maafin. Oiya, gimana kamu sama Maryam?" 

Melihat Arvin tersenyum dengan mata berbinar sepertinya sudah membuatku menyesal untuk bertanya.

"Kami baik-baik aja."

Aku berusaha tersenyum. Arvin terlihat sekali sangat bahagia. "Kapan mau melamar? Jangan digantungin terus, kasian tahu," kataku mencoba bergurau.

Arvin melangkah mendekatiku. Laki-laki itu terkekeh sesaat. "Insyaa Allah, minggu depan. Doain, ya, semoga lancar."

Aku mengangguk. "Pasti."

Pandanganku berhasil teralihkan saat mobil yang baru saja kutumpangi tadi memasuki pekarangan rumahku. Laki-laki yang mengantarku sampai selamat terlihat keluar mobil dengan langkah terburu-buru.

"Assalamu'alaikum."

Aku dan Arvin menjawab salamnya secara bersamaan.

Laki-laki itu menatapku sembari menyerahkan benda persegi panjang ke hadapanku. "Hp kamu ketinggalan di mobil saya. Dari tadi bunyi terus. Berisik."

Laki-laki irit bicara itu langsung pamit begitu aku selesai mengucapkan terima kasih. Pasti Dia sudah terlambat bekerja makanya begitu buru-buru. Tersenyum pun tidak. Benar-benar laki-laki bukan tipe idamanku.

"Siapa?" suara Arvin kembali menyita perhatianku dari laki-laki barusan.

"Oh, itu Fatih."

"Fatih siapa? Kok kamu nggak pernah cerita?"

Bagaimana ingin bercerita, kenal saja baru-baru ini. "Fatih itu kakaknya Aini," jelasku singkat. Sebenarnya aku malas sekali membahas Fatih.

"Siapa lagi Aini?"

Aku menghela napas.  Lupa, jika Arvin pasti tidak mengenal Aini istri dari sepupuku, Kahfa.

"Aini itu istrinya Kahfa. Kebetulan jadwal keberangkatanku sama dengan Fatih. Ya sudah, kami pulang sama-sama. Jelas?" ucapku yang sudah benar-benar lelah. Arvin masih sama seperti dulu. Suka bertanya apa pun yang membuatnya penasaran.

"Kalian berdua ada hubungan?"

Aku mendesah lelah. "Gak usah nanya yang aneh-aneh. Aku capek. Aku masuk, ya. Assalamu'alaikum."

.....

Usai melaksanakan shalat Isya aku turun ke bawah menuju dapur. Perutku mendadak keroncongan. Kebiasaanku ialah makan malam setelah shalat Isya. Rumah terlihat sekali sedang sepi. Papa pasti masih berada di masjid, sedangkan Mama seperti biasanya berada di kamar melanjutkan tilawahnya yang selalu dilakukannya setiap malam.

Aku menghentikan suapanku saat mendengar bel rumah berbunyi. Siapa yang bertamu? Jika Papa yang baru pulang dari masjid pasti langsung masuk karena memiliki kunci cadangan. 

Mau tidak mau, aku berlari menuju kamarku untuk memakai khimar dan kaos kaki. Takut jika yang berkunjung adalah seseorang yang bukan mahrom. Setelah memakainya, aku kembali berlari untuk membukakan pintu sang tamu. 

"Fatih?"

Aku terkejut begitu melihat laki-laki kaku itu bediri di teras rumahku. Ia menatapku dengan datar. Apa tujuan Fatih bertamu malam-malam begini?

"Aku ada ketinggalan barang lagi, ya, di mobil kamu?" tanyaku mencoba menebak. Aku orangnya sangat pelupa. Siapa tau saja masih ada barangku yang tertinggal di mobilnya.

"Boleh saya masuk?"

Mataku melebar. "Hah? untuk apa?"

Laki-laki dingin itu menatapku dengan alis terangkat satu. "Apakah begini cara kamu menyambut orang yang bertamu?" 

Aku mendadak kesal. Ingin sekali aku berkata begini, kalau tamunya bukan kamu pasti sudah aku perlakukan sebaik mungkin. Masih untung nggak kuusir.

"Ya sudah, silakan masuk." Aku menyingkir dari pintu dan membiarkannya masuk.

"Apa kedua orang tua kamu ada? Saya ingin bertemu dengan beliau, ada yang ingin saya bicarakan," katanya begitu sudah duduk di ruang tamu. Aku menatapnya bingung. Untuk apa bertemu dengan Papa dan Mama?

"Untuk apa kamu ketemu sama Papa dan Mama aku?"

"Nanti juga kamu tahu."

Aku hanya mengangguk lalu naik ke lantai dua untuk memanggil Mama. Bukan hanya aku yang bingung, Mama pun juga bingung dengan kedatangan Fatih yang sangat aneh. Saat aku dan Mama tiba di ruang tamu, ternyata di sana sudah ada Papa yang sedang mengobrol ringan dengan Fatih. 

Menahan penasaran, aku kembali ke dapur untuk melanjutkan makanku yang tertunda. Di tengah aktivitasku yang sedang makan, Mama datang dengan senyum penuh arti kepadaku. Hanya tersenyum dan selanjutnya mama mengeluarkan roti kering dan membuat secangkir teh hangat. Aku menatap Mama aneh. Entah mengapa semuanya serba aneh.

"Ma, itu si Fatih mau ngapain datang ke sini?" tanyaku sangat penasaran.

Mama tersenyum. "Nanti setelah makan langsung nyusul ya ke ruang tamu."

"Ngapain?"

"Nanti juga kamu tahu sendiri."

Ada apa, sih, sebenarnya? Bikin penasaran aja.

-tbc-

~Untuk Muslim dan Muslimah utamakan membaca Al-Qur'an, yaa...~

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang