Silent_03

6.2K 439 5
                                    

Jujur saja aku sangat penasaran. Dengan langkah hati-hati, aku mendekati ketiganya yang sedang berbincang hangat di ruang tamu. Laki-laki yang kuketahui berwajah datar dan selalu bersikap dingin itu ternyata bisa tertawa. Aku pikir sel saraf tawanya sudah putus atau mati. Selama berada di Aceh dan berinteraksi dengannya, tidak pernah sekali pun aku melihatnya tertawa. Tersenyum saja jarang. Aku tidak pernah terlibat obrolan panjang dengannya. Maksimal hanya lima kata, setelahnya diam.

Sepertinya laki-laki itu sanggup berpuasa untuk tidak berbicara. Jika tidak mengenalnya, orang-orang pasti menyangka bahwa ia bisu.

Tanpa sadar ternyata aku sudah mengamati interaksi tiga orang di sana dengan sangat lama. Kesadaranku baru bisa kembali ketika aku mendengar kalimat yang berhasil membuatku terkejut dilanjutkan dengan jantung yang berdetak dengan sangat kencangnya.

"Saya berniat menjadikan Shirin pendamping hidup saya."

Pendamping hidup? Aku yakin telingaku masih berfungsi dengan baik. Pendamping hidup yang aku dengar sangat jelas, tidak ngeblur dan sengo, juga tidak fals sedikit pun.

Perlahan, aku mundur, berniat naik ke lantai atas dan menyembunyikan diri di dalam kamar. Sungguh aku tidak bisa. Tidak bisa menjadi pendamping hidup dari seorang Fatih. Aku sama sekali tidak menyukainya. Sudah berapa kali aku menegaskan hal ini di dalam hati bahwa aku tidak suka dengan sifat yang dimiliki Fatih.

Dia memang tampan, tetapi aku tidak pernah memasukkan kata tampan di dalam daftar calon pendampingku. Dia lelaki sholeh, aku tidak bisa menapik hal ini. Namun, tetap, aku tidak menyukainya.

"Shirin...."

Aku tertangkap. Demi Allah, aku tidak siap dihadapkan dengan situasi seperti ini.

"Sini, Rin. Ada yang ingin Fatih bicarakan dengan kamu." Suara hangat Papa memanggilku. Pria nomor satu yang sangat kusayangi itu terlihat sedang bahagia.

"Iya, Pa." Aku pasrah. Aku duduk di samping Mama sambil menatap kue kering yang berada di dalam wadah bulat di atas meja. Saat ini aku sedang tidak ingin menatap siapa pun.

"Kedatangan Fatih kemari memiliki niat yang sangat baik untuk kamu."

Aku memilih mengangguk mendengar ucapan Papa yang bernada riang. Niat yang sangat baik katanya? Aku ingin menangis rasanya.

Ingin sekali aku mengatakan niat yang Fatih utarakan sama sekali tidak baik untuk aku pribadi. Niat baik itu seharusnya jangan dilihat hanya dari satu sisi. Namun, lihat juga di sisi yang lain.

Aku tidak bisa berkata-kata hanya mampu merangkai banyak kata dan menuangkannya ke dalam bahasa kalbu.

"Shirin."

Aku mengangkat wajahku dan menatap laki-laki yang baru saja menyebut namaku dengan nada lembut.

"Mungkin terlalu cepat, tetapi saya ingin menjadikan kamu istri saya jika kamu bersedia. Saya tahu, saya jauh dari kata baik dan mungkin saya bukan termasuk dari golongan impian kamu."

Aku kembali menunduk setelah berhasil menatap matanya. Kurasakan Mama menggenggam tanganku dengan lembut. Aku sangat tidak suka berada di situasi seperti ini. Situasi yang membuatku serba salah.

"Apakah kamu mau menerima saya?"

Aku kembali mengangkat kepala dan menatap wajah Papa dan Mama secara bergantian. Keduanya memberikan tatapan dan senyuman yang sama-sama lembut. Setelah itu aku beralih menatap Fatih, lelaki tampan yang hanya sekedar tampan tanpa aku sukai.

Aku menggeleng. "Maaf, aku belum bisa."

Setelah mengutarakan kalimat pendek itu, aku bangkit melangkah cepat menuju kamar. Menyembunyikan diri dari tatapan kecewa tiga orang di sana. Aku tidak sanggup melihat tatapan kecewa Ayah dan Mama, tetapi aku juga tidak sanggup jika harus menerima.

Perasaan ini masih sama untuk orang yang sama.

.....

-tbc-

~utamakan membaca Al-Qur'an~

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang