04-Raya

4.7K 366 10
                                    

Senja mulai menyapa dan jingga mulai terlihat saat matahari yang perlahan ingin mengakhiri perannya dalam menyinari. Di saat ini pula, Raya hanya mampu duduk diam menyaksikan keindahan langit yang terbentang sejauh matanya memandang.

Matanya sembab diiringi dengan rasa yang begitu sakit menghantam kepalanya. Mungkin efek kehamilan. Entahlah, Raya juga tidak tahu pasti. Namun, semakin lama, perutnya juga mengalami hal yang sama. Wanita itu bangkit berdiri lalu melangkah tertatih. Usia kandungannya yang baru menginjak dua belas minggu dan baru kali ini ia benar-benar merasakan nyeri tak terkira.

"Nak, kamu baik-baik ya di dalam sana," lirihnya. Air mata mulai mengalir dari pelupuk matanya.

Raya ingat, di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Ia hanya seorang diri. Beberapa hari ini Angger juga tidak berada di rumah, lebih tepatnya tidak pernah pulang. Jauh dari semua hal, yang paling Raya sesalkan adalah ketidakterlibatan Angger pada kehamilannya. Rasa tanggung jawab pria itu sudah lama mati dan memang seharusnya Raya tidak mengharapkan apa-apa.

Raya melangkah pelan berusaha menahan rasa nyeri yang semakin bertambah. Wanita itu ingin segera keluar rumah berharap menemukan bantuan, tetapi ia merasa tak sanggup. Ia tidak kuat, tapi ia harus menyelamatkan diri, terlebih keselamatan nyawa yang berada dalam kandungannya.

"Sa-kit."

Raya mematung berusaha membuang pikiran buruk saat ia berhasil keluar rumah. Cairan kental berwarna merah begitu terasa mengalir di kedua sela kakinya. Seiring dengan rasa nyeri yang semakin menghantam disertai dengan darah yang tak henti mengalir, Raya tidak bisa berpikir jernih. Ia yakin, kandungannya sedang tidak baik-baik saja.

Wanita itu mulai terisak. Panik mendominasi. Ia menatap sekelilingnya berharap dengan amat sangat ada yang menolongnya. Raya mencekam erat dress yang ia kenakan berusaha menghalau rasa sakit yang semakin menghantam perutnya. Kakinya kembali melangkah susah payah ke arah jalan raya.

Saat tatapannya jatuh pada taksi di seberang sana. Harapan besar itu nyata. Wanita itu benar-benar mengusahakan diri untuk keselamatan kandungannya. Tidak ada yang lebih penting dari itu. Angger tidak menginginkannya dan jangan sampai bayi yang ia harapkan kejadiannya juga tidak menginginkannya.

Raya melangkah tertatih menuju taksi, tidak peduli dengan beberapa kendaraan yang berhenti mendadak dengan dirinya yang menyebrang tanpa aturan.

Wanita itu tidak tahan lagi. Sungguh, Raya benar-benat tidak tahan.

"Ka-kamu berdarah."

Bertepatan dengan alunan suara itu, Raya merasakan tubuhnya melayang di udara. Seseorang telah menggendongnya.

"To-tolong, selamatkan aku dan kandunganku." Kesadarannya telah diambang batas. Namun, satu yang ia ingat. Wajah pria asing yang terlihat begitu khawatir.

.....

Di tengah pekatnya malam dan di dalam ruangan yang tingginya pencahayaan. Mata yang baru mendapatkan penyesuaian itu menyipit mengamati sekelilingnya. Bau obat-obatan langsung menyengat dan alat penunjang kehidupannya masih melekat.

Raya memejamkan mata sekilas kala rasa nyeri itu terasa di seluruh tubuh, terutama pada bagian perutnya. Kilas balik diingatan perlahan muncul, sontak wanita itu mengangkat sebelah tangan lalu meletakkan di atas perutnya yang rata. Terasa ringan, kosong, dan juga hampa.

Apakah dirinya kembali ditinggalkan?

Air mata itu jatuh begitu saja lalu berangsur-angsur turun. Di dalam heningnya ruangan, tanpa ada satu pun yang menemani, Raya menangis pilu seorang diri. Tidak ada yang benar-benar ingin menetap bersamanya. Semuanya pergi. Semuanya tidak menginginkannya.

Mengapa dirinya tidak dibawa pergi juga? Tidak adakah yang tahu jika dirinya tidak ingin ditinggalkan? Ia ingin ikut. Sungguh, ia ingin ikut.

Suami yang ia harapkan telah nyata tidak menginginkannya dan bayi yang ia tunggu kelahirannya juga tidak ingin tumbuh di dalam rahimnya. Sebenarnya, dirinya ini kenapa? Bahkan, di saat terpuruk seperti ini pun ia masih sendiri. Suami dan bayi yang ia tunggu tidak ada yang ingin bersamanya.

"Kamu sudah sadar. Apa ada yang sakit?"

Raya tidak menjawab, hanya ada isak pilu yang terdengar. Sakit, tidak perlu ditanya.

Pria yang baru tiba itu melangkah mendekat. Rambut yang sudah tertata tidak rapi dan lengan kemeja yang disingsing asal, juga wajah lelah yang begitu nampak.

"Di-dia sudah tiada," ucap Raya dengan suara yang nyaris ditelan isakan.

Pria itu terdiam, menatap ke arah perut rata yang menjadi penyebab wanita itu begitu memprihatinkan.

"Ya, dia sudah tiada," ucapnya pelan. Namun, Raya masih bisa mendengar dengan jelas.

Raya menatap pria asing itu.

"Tidak ada yang kekal di dunia ini, mau cepat atau lambat, semuanya pasti kembali. Kita hanya manusia yang tidak punya hak milik apa-apa. Kepada diri sendiri saja kita tidak berhak karena dari awal kita memang tidak punya apa-apa. Mungkin rasa kehilangan itu pasti ada, tapi apa pantas kita kehilangan sedangkan kita tahu kalau sejak awal itu memang bukan milik kita. Sewaktu-waktu semuanya pasti akan kembali ke sang Pemilik sesunggunya, termasuk tubuh kita."

Menghela napas,  pria itu menatap Raya lalu tersenyum. "Kamu yang tabah, ya. Coba terima semuanya dengan ikhlas. Maaf, aku tidak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan kamu yang seperti ini."

Raya menggeleng. Tidak banyak yang bisa ia katakan. Hanya ucapan terima kasih karena pria itu sudah merelakan waktunya untuk menyelamatkannya dan sampai rela menunggunya hingga sadarkan diri.

......

-tbc-

Insyaa Allah, satu part lagi tamat.

Terimakasih yang sudah menyempatkan membaca cerita kegabutan aku hari ini.

Semakin yakin nggak nih Raya cerai dari Angger?

~utamakan membaca Al-Qur'an~


Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang