Rasa-04

3.2K 249 2
                                    

Maurin sampai di sekolah dengan keadaan tidak bersemangat. Gadis itu menghela napas berat ketika mengangkat wajahnya, sebentar lagi ia akan berpapasan dengan Bilal. Sejak kejadian itu, ia selalu menghindari Bilal. Memutar balik arah saat akan berpapasan, tidak jadi ke kantin, dan semua hal yang berhubungan dengan laki-laki itu Maurin akan menghindar dan berusaha untuk tidak saling bertemu, meskipun hanya saling menatap sekali pun.

Namun, kali ini ia tidak sanggup melakukannya. Ada yang harus ia tanyakan kepada laki-laki itu. Sudah nyaris dua minggu sahabatnya-Terra absen. Maurin juga telah mengunjungi rumah sahabatnya, tapi kosong tidak ada siapa-siapa. Gadis itu tidak tahu harus bertanya kepada siapa. 

Tidak ada salahnya bertanya kepada Bilal. Bukankah laki-laki itu menyukai sahabatnya?

Menghela napas sekali lagi, Maurin berdiri tepat di depan Bilal. Menghalangi langkah laki-laki tersebut.

"Bilal, aku pengen nanya sesuatu," katanya. Maurin tidak peduli dengan Bilal yang menatapnya lekat. 

Maurin berusaha menetralkan jantungnya. Ternyata perasaannya masih sama. Padahal sudah sekuat tenaga ia ingin melupakan perasaannya. Mengapa berat sekali?

"Lo mau nanya apa?" 

Maurin mendongak, menatap Bilal dengan berani. "Kamu tau di mana Terra? Sudah dua minggu Terra gak masuk sekolah." 

Wajah Maurin terlihat khawatir. Gadis itu benar-benar kesepian tidak ada sahabatnya. Terkadang ia menangis seorang diri takut jika terjadi apa-apa dengan Terra dan takut jika lagi-lagi ia akan ditinggalkan. Sungguh demi apa pun, ia sangat menyayangi Terra. Terra bukan hanya sekedar sahabat baginya, tapi sudah seperti saudara kandung.

"Lo sahabatnya, harusnya lo lebih tau di mana dia."

Bilal baru saya menamparnya dengan perkataan. Selama ini, mungkin hanya Terra yang mengerti dirinya, tapi ia sama sekali tidak mengerti Terra.

Terra tidak pernah bercerita rasa sedih yang ia alami. Sampai-sampai Maurin tidak tahu apakah Terra pernah bersedih atau tidak. Sahabatnya itu selalu ceria setiap bersamanya.

"Aku sudah datang ke rumahnya, tapi rumahnya kosong. Kamu tahu di mana Terra? Plis, kasih tahu aku." Maurin memohon, mata gadis itu berkaca-kaca.

Bilal menggeleng disertai dengan rasa bersalah karena ia memang tidak tahu di mana keberadaan Terra. "Gue gak tau, Rin." 

Air mata gadis itu meluruh. "Bilal, aku takut. Terra gak pernah kayak gini."

Laki-laki itu mengulurkan tangannya, mengusap lembut air mata gadis di depannya. "Jangan nangis."

....

Pagi sekali, Maurin telah berada di sekolah. Duduk di bangku selasar kelas dan menatap kosong ke depan. Hari ini adalah hari pertama diadakannya ujian nasional dan gadis itu merasa sangat lemas. 

Kemaren, Maurin kembali mengunjungi rumah Terra dan rumah tersebut masih kosong. Jika memang tidak ada apa-apa dengan Terra, seharusnya gadis itu hadir hari ini. Harapan satu-satunya adalah di hari ujian nasional, ia yakin bahwa sahabatnya akan kembali masuk saat ujian nasional diadakan

"Mauriiiiin, gue kangen..."

Gadis itu tersentak kaget saat tiba-tiba ada yang memeluknya. Maurin mendorong pelan tubuh orang tersebut dan menatapnya datar. 

"Maurin, lo kenapa? Gak kesambet, kan?" 

Mata gadis itu tidak berkedip. Lalu setelahnya berhasil menangis sesegukan, ia memeluk Terra penuh rindu. "Ter-ra, kamu jahat. Ka-mu ke mana aja dua minggu ini? Kamu jahat, Terr!"

Short StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang