tiga

206 45 1
                                    

Hubungan darah tak pernah terputus sejauh apapun kau berlari fakta selalu mengungangkapkan kau dan orangtuamu tetap terhubung




Sepasang kaki mungil kini mondar-mandir gelisah menunggu seseorang yang akan menjemputnya... Anin pemilik kaki itu beberapa kali menghentakan kakinya di depan pagar sekolahnya. Pasalnya sang Bunda belum datang juga.

"Bunda kemana?" nada kesal sangat kentara terdengar dari bibir mungil gadis kecil, seragam sekolahnya sudah sangat lusuh karena bermain dengan teman-temannya di waktu istirahat.

Gadis mungil itu menggigit kuku jarinya dan menatap harap di belokan sekolahnya merasa ibunya tak kunjung datang. Anin menundukan wajahnya sedih. Tak di sadarinya sebuah mobil berhenti di depannya.kaca kemudi mobil itu perlahan terbuka menampilkan sesosok Laki-laki tampan memakai kacamata Hitam yang bertengger di hidung mancungnya.

"Hei kamu kenapa? Mana orangtuamu?"
Terhenyak kaget Anin mendongak menatap wajah orang yg mengajaknya bicara

"Kenapa diam?"

Laki-laki itu terheran melihat anak kecil itu hanya menatapnya... Sekilas dia seperti menatap dirinya sendiri saat melihat wajah anak kecil itu hanya saja dahinya tak selebar itu.

"Bunda belum menjemputku." Anin berucap dengan nada pelan, takut menatap langsung laki-laki yang masih berada dalam mobilnya itu.

Laki-laki itu turun dari mobilnya dan mensejajarkan tubuhnya dengan anak kecil itu, ada apa dengan jantungnya? mengapa berdebar saat memandang wajah anak kecil ini? apa jatuh cinta? ah tidak dia masih normal dan dia bukan pedofil!

"Siapa namamu anak kecil?” laki-laki itu tersenyum memandang tingkah polos gadis kecil di hadapannya itu.

"Maaf, tapi Bunda melarangku berbicara dengan orang asing."

Anin berbalik hendak berjalan menjauhi laki-laki itu yang masih saja mematung memandang punggung mungil yang kini menjauh darinya.

“Perasaan aneh apa ini ?”

Pertanyaan itu terus di ulang ulang dalam hati tetapi selalu tak ada jawaban, bagiamana bisa hidung itu bisa seperti miliknya, bagaimana bisa lesung pipit itu tercetak dengan sempurna sama seperti miliknya, dan bagaimana bisa bentuk wajah itu juga hampir sama seperti miliknya, tapi mata dan kening anak itu sama seperti orang yang selama ini di rindukannya.

Akan aku buktikan jika perasaanku tak salah dia adalah anakku.” batin laki-laki itu.

"Setidaknya beritahu Aku namamu nak." Ujar laki-laki itu, dia masih yak mau menyerah dengan mendekatkan diri pada sosok mungil di depannya ini.

Anin berhenti dan menunduk sebelum menjawab Laki-laki itu, di hela nafasnya pelan dan menengok sedikit pada laki-laki yang masih menatapnya dengan berharap.

"Anindayu Hapsari..," Anin menatap laki-laki itu yang perlahan menurunkan senyuman yang sejak tadi tercetak. "Itu namaku.."

Anin meneruskan langkahnya memasuki sekolahnya lagi dan menunggu bundanya menjemputnya meninggalkan Laki-laki tadi yang kini mematung menatap datar punggung mungil yang kini menjauh meninggalkannya sendiri di depan gerbang sekolah dasar yang sepi.

"Hapsari?" laki-laki itu bergumam, dikepalanya mencoba mencari memeori yang sangat berkesan baginya.

"Gi?"

"Hapsari?"

"Apa dia anak kita Gi?"

Chakra, laki-laki itu bergumam pelan sembari menatap lurus Anin, perasaannya berkecamuk, rasanya benar-benar membingungkan, marga yang sama dengan orang yang di cintainya, apa benar dia anaknya? pertanyaan itu terus menerus berputar, hingga hatinya menyuruhnya menunggu sampai anak itu di jemput orang tuanya, untuk memastikan apa itu anaknya atau tidak.

***

Di Lain tempat seorang Regina mengumpat kesal karena sepeda yang biasa di tumpanginya harus rantainya putus dan membuatnya terlambat menjemput putrinya.

"Anin, maafkan Bunda sayang." Berkali-kali kata itu mengalun lirih di setiap kayuhan sepedanya.

***

"Bunda Kemana sih?"

Anin yang menyadari hari semakin sore dan sang Bunda tak kunjung datang mulai menangis sambil berlari menuju gerbang.

"Hei kamu baik-baik saja?"

Terkaget Anin menatap was-was pasalnya Laki-laki tadi masih menunggu di depan gerbang sekolahnya.

"Kamu gak papa?" Chakra memandang Anin yang sudah mengembun dan memerah di bagian mata. Menyiratkan ketakutan.

"Bunda Hiks Hiks!"

Anin menangis keras sepontan laki-laki itu memeluknya erat, Nyaman sungguh nyaman perlahan tapi pasti Anin mulai menghentikan tangisannya, merasa terlindungi dengan pelukan itu,

Apa seperti rasanya di peluk Ayah?
Anin bertanya dalam hati, menikmati pelukan seorang Laki-laki yang belum pernah  bertemu dengannya membuatnya terlena.

"Tenanglah."

"Bunda hiks hiks."

Anin masih terisak. Chakra, laki-laki itu semakin memeluknya erat sampai sebuah tangan memisahkan mereka.

"Jangan sentuh putriku!"

“Gi?”

Princess in the Rain√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang