Memendam perasaan sangat menyesakkan bukan? cobalah untuk terbuka pada orang yang kau percaya,dan kau akan merasakan sedikit beban yang terangkat
Senyuman Anin sangat manis. Dengan lesung pipit yang di turunkan oleh sang Ayah, dan kening lebar yang di dapatkannya dari sang Bunda menjadi daya tarik tersendiri dari gadis bermarga Aditama ini ah tidak bermarga Hapsari maksudku
Mengapa bermarga Hapsari ? setelah kejadian dimana Regina merasa terbuang, Regina mengganti marga putrinya dengan marganya.
Seperti kegiatan yang biasanya anak bermarga Hapsari itu menghabiskan sarapan. tapi bedanya senyuman manis selalu dia kembangkan. Dengan rambut di ikat dua serta poni yang menutupi kening lebarnya yang sesekali bergoyang karena pergerakan kepalanya yang bergoyang kecil. Bibir mungilnya sesekali bersenandung riang.
"Anin sayang sarapannya di habiskan dulu. Jangan bernyanyi nanti tersedak."
"Oke Bunda. Aku hanya merasa senang. Bunda tau tidak, tadi malam aku membayangkan wajah Ay..."
"Habiskan dulu sayang nanti kau telat sekolah"
"Iya Bun."
Wajah yang berbinar tadi kian meredup kala Regina memotong perkataannya. Regina yang memandang wajah putrinya perlahan merasa sesak. Dia tak sanggup benar-benar tak sanggup jika membicarakan suaminya itu karena itu terlalu menyakitkan baginya. Rasa bersalah terkadang muncul tapi dia berusaha menahannya. Biarlah mengalir apa adanya.
Kenangan itu selalu muncul. Kenangan yang selalu membuatnya bermimpi buruk tiap malam dan membuatnya menangis terisak, terbangun di tengah malam dengan bayangan bahagia serta rasa sakit di masa lalu.
"Ini maumu kan Chakra Aditama? Membuatku menderita bersama anakmu. Aku membencimu!" Kata yang selalu bergumam lirih dari bibirnya yang bergetar kala terbangun dari mimpi buruknya.
Sebuah kenangan yang dulu sangat membuatnya terpuruk perlahan dia rubah menjadi sedikit lebih indah. Dengan tawa ceria, sang putri kini Regina mampu menjalani hidupnya dengan baik. Walau kadang miris melihat putrinya karna mengingat wajah putrinya sangat mirip dengan sang suami.
"Bunda, apa nanti kalau Anin besar dan pintar bisa bertemu dengan Ayah?"
Kata kata yang belakangan ini selalu membuatnya kembali terpuruk perlahan tapi pasti dia abaikan. “Jangan pernah ingin bertemu Ayahmu Anin!” ingin meneriakan nama itu tapi sungguh sangat sulit, dan dia juga hanya bisa menahannya, menelan pahitnya keadaan, Regina sangat ingin memberitahu sang putri tentang betapa bejat Ayahnya tapi melihat keceriaan sang putri hilang sungguh mengganggu pikirannya.
Jadi biarkan saja mengalir apa adanya untuk saat ini, dan dia selalu berdo’a agar nantinya sang putri tak pernah bertemu kembali dengan suaminya, biarkan hidup seperti ini saja yang penting tak ada suaminya, menghidupi sang putri pun dia masih sanggup.
"Iya...asal Anin belajar dengan rajin."
Dan Regina sudah tau harus menjawab apa. Walau hanya omong kosong, setidaknya melihat putrinya tersenyum sudah cukup. Biarkan dia menderita Kar kebohongan, asal putrinya tak menanyakan di mana ayahnya berada."Baiklah Bunda, ayo berangkat Anin ingin cepat ke sekolah dan belajar agar bisa bertemu Ayah."
Helaan nafas lelah Regina hembuskan karna mencoba menahan emosi dan sesak di dadanya. Tak mungkin dia membentak anak semata wayangnya yang sangat dia sayangi. Teman hidup satu satunya serta semangat hidupnya.
Tangan mungil itu kian menggenggam erat tangan Regina seolah menyalurkan betapa semangat dan senangnya dia saat ini, karna merasa ada jalan untuk si kecil itu untuk bertemu sosok yang dia rindukan saat ini.
“Belajar yang rajin sayang!”
“Hm,pasti!”Anin mengangguk semangat kala Regina mengantarkannya sampai gerbang sekolah, kini dia sangat semangat untuk sekolah karena ya kalian tau kan jika sumber kbahagiaan Anin saat ini hanya cara bertemu sang Ayah.
“Tetap di sini jangan keluar, jangan berbicara dengan orang asing jika Bunda belum menjemputmu, mengerti?”
Lagi dan lagi Anin mengangguk semangat, kalimat yang sama dari sang ibu di dengarnya setiap hari saat mengantarnya ke sekolah.
“Bunda jangan terlalu lama menjemputku!”
“Akan Bunda usahakan.” Ucap Regina tersenyum tulus dengan mengusap lembut rambut putrinya.
Anin berjalan memasuki sekolahnya dengan melambaikan tangannya pada Regina sebagai salam perpisahan, pemandangan biasa bagi sebagian besar tapi jika di telisik akan berbeda.
“Apa selama ini Anin ingin seperti mereka?” Regina berbisik pada angin.
Wanita cantik itu mengedarkan pandangannya pada sekitar tepatnya anak-anak yang diantar orang tuanya, menaiki mobil mewah dan diantar kedua orang tuanya, pasti pemandangan yang sangat membuat iru bagi anak istimewa bersama Anin.
“Maaf sayang, maafkan Bunda, jika saja Ayahmu tak meninggalkan kita pasti kau bisa berangkat sekolah bersamanya.”
Regina membatin perih dan dari perkataannya dia kembali lagi dengan De javu yang membawanya dan menghempaskannya pada kenyataan bahwa semua itu tak akan kembali seperti semula.
Jika biasa, Regina bahkan sangat ingin, Regina sangat menginginkan kembali ke masa lalu dan mencegah kembali suaminya untuk pergi, agar putrinya tak menderita seperti ini, biar saja hidup kekurangan asal terus bersama, biar saja hidup miskin tetapi kehangatan keluarga sangat kental terasa, itu lebih berharga dari apapun.
“Suatu saat kau bahagia sayang, tapi bukan untuk bertemu Ayahmu, suatu saat kau akan mengerti jika yang Bunda lakukan sampai sejauh ini adalah demi kebaikanmu.”
Regina perlahan lahan melangkah menjauh dari sekolah putrinya, Bel masuk sekolah menggema dan itu masih terdengar di telinga Regina
“Belajar yang rajin sayang, jadilah pandai agar Ayahmu tertampar dengan prestasimu kelak, agar dia menyesal sudah menelantarkan kita.” Suara lirih Regina hanya terdengar oleh hembusan angin hingga tak tersengar walau dengan lirih sekalipun.
Regina tersenyum tipis sebelum langkahnya melebar untuk pergi, biar saja takdir mempermainkan hidupnya saat ini, biar saja rasa sakit menghajarnya saat ini, tapi kelak akan di teguknya madu kebahagiaannya bersama putrinya, Hanya dia dan putrinya! Tidak dengan Chakra Aditama, suaminya.
.
.
.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Princess in the Rain√
Romancekerindukan di kecil. keegoisan orang tua.. semuanya hanya Ada di dalam emosi yang mematikan ego tinggi. "ayah seperti apa bunda?" "Hanya ada Bunda, jangan pikirkan yang lain." "Apa kau harus seegois ini, Gi!" "kau tak pernah mengerti Bim."