8

679 63 7
                                    

Berita bahagia ini tidak boleh ia lewatkan begitu saja. Mia segera memakai sepatu dengan cepat. Saking senangnya, Mia tidak mengucapkan salam kepada Dena, juga tidak memedulikan Rusdan yang sudah menunggunya bersama Rachel. Jika sedang tidak di luar kota, Rusdan memang menyempatkan diri untuk mengantar anak-anaknya ke sekolah. Hanya saja, Mia selalu menolak.

Di balkon rumah sebelah sudah ada Renita yang memasang wajah sinis pada Mia, dan Mia benar-benar tidak peduli. Wajah wanita itu terlihat lebih segar, mungkin karena sudah sembuh dari sakitnya. Sakit atau tidak, bagi Mia tidak ada bedanya, wajah ibu tirinya itu selalu menyeramkan.

"Mia, ayo berangkat sekolah bersama!" Rusdan berteriak di balik jendela mobil yang terbuka sebagian.

"Mia ini uang jajan kamu. Nilaimu naik, Ibu akan menambah uang jajan kamu." Dena mengulurkan selembar uang pada Mia.

Mia mengambil uang dari Dena tanpa berbicara sedikit pun. Tangannya masih sibuk mengaitkan tali sepatu.

"Dan, juga, ini kunci motornya. Ibu kembalikan, hari ini kamu boleh bawa motor." Dena menyodorkan kunci motor yang memiliki gantungan boneka Doraemon.

"Mia mau naik bus aja, Bu. Sekarang, kan, emang hari terakhir Mia mendapatkan hukuman naik bus." Mia menggeleng, sekarang ia sudah berdiri di hadapan Dena.

"Tumben kamu berkata seperti itu. Biasanya kamu sangat senang kalau hukumannya dicabut." Dena mengelus rambut Mia sambil tersenyum.

"Mia bukannya nggak senang, Bu. Tapi Mia─"

Mia tidak mungkin berkata jujur pada Dena kalau dirinya ingin naik bus karena ingin bertemu dengan seseorang.

"Mia, hanya ... pokoknya Mia pengen menjalankan hukuman dari Ibu sampai selesai." Mia langsung meraih tangan Dena dan menciumnya. Detik berikutnya ia segera berjalan cepat.

Mia berjalan cepat keluar dari komplek karena ia tidak ingin Rusdan dan Rachel yang memakai mobil mendahuluinya. Tepat sekali, saat Mia sudah sampai di depan komplek, sebuah bus datang.

Saat sampai di dalam bus, mata Mia menjelajah seluruh kursi. Kursi bagian depan sudah penuh. Yang tersisa hanya kursi bagian belakang. Mia berharap, meski dirinya berada di belakang, Rizki bisa menemukan dirinya dan duduk bersisian lagi.

Mia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lima menit dari sekarang. Sekali-kali Mia menatap jendela dan arloji secara bergantian. Ia sudah tidak sabar membagi kebahagiaannya.

Tinggal satu menit lagi, dan Mia sudah tidak sabar. Lima menit jadi terasa sangat lama jika ditunggu. Satu menit saja terasa seperti sehari. Mia sudah mempersiapkan senyuman lebar dan termanis miliknya untuk diberikan pada orang yang berhasil membuatnya bahagia. Semua orang tahu, bahkan alam semesta pun tahu, siapa orang itu.

Tepat lima menit, bus berhenti sebentar. Mia menoleh ke arah pintu bus, karena orang yang ditunggu-tunggunya selalu muncul dari arah sana. Mia mencondongkan tubuh supaya bisa melihat dengan jelas siapa yang menaiki bus tersebut.

"Yah, bukan Rizki." Mia mendesah saat melihat seorang cowok berbaju kotak-kotak duduk di sampingnya, ia menormalkan kembali tubuhnya. Mungkin beberapa menit lagi Rizki akan muncul.

Bus berhenti lagi. Kali ini, Mia sampai-sampai berdiri untuk melihat siapa yang menaiki bus. Dari balik kaca jendela, Mia melihat seorang cowok bertopi menaiki bus. Jelas, itu bukan Rizki. Selama ini Rizki tidak pernah memakai topi.

Mia duduk kembali, penumpang di sebelahnya tampak menatap keheranan, tapi Mia tidak peduli.

"Please, muncul, dong. Gue rela-relain nggak bawa motor ke sekolah cuma buat ketemu, lo." Mia bergerutu.

"Lagi nunggu siapa, Dek?" Penumpang di sebelah Mia mendengar gerutuan Mia.

Mia melirik ke samping sekilas sambil menyengir kuda. Ia menggeleng tidak jelas, "Nggak lagi nungguin siapa-siapa kok, Pak."

***

"Kenapa, lo, Miauw?" Bayu duduk di samping Mia. Ia mengetuk-ngetukan ujung sepatu ke lantai, menunggu jawaban dari Mia.

Mia tak kunjung menjawab. Ia hanya menyapukan kuas di atas kanvas. Matanya sayu, bibirnya pucat karena belum sarapan dan makan siang.

"Biasanya jam istirahat gini lo ke kantin, bukannya ke ruang seni. Lo lagi ada masalah?" Bayu menatap Mia, lalu beralih pada kanvas di hadapan Mia.

"Bentar, Miauw. Bukannya lukisan lo yang kemarin juga belum beres, ya? Kenapa lo bikin lukisan baru lagi?" Mata Bayu belum beralih dari Mia.

"Gue nggak mood buat nyelesain lukisan yang kemarin." Mia mengangguk-angguk pelan. Ya, memang begitu. Lukisan kemarin sepertinya tidak perlu diselesaikan, karena menurutnya lukisan itu tidak ada maknanya. Dan sekarang Mia melukis karena ada sesuatu hal di dalam hatinya. Semacam rindu yang sulit untuk diungkapkan.


== N E X T ==

30 MinutesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang