Setelah belajar, Mia memilih untuk tidur saja. Setengah jam, ia cuma berguling-guling di ranjang, sebab matanya tak kunjung terpejam. Apalagi saat ini mamanya belum pulang bekerja. Sembari menunggu, Mia mengambil cermin mungil di nakas, memandangi wajah kusutnya, tak kalah kusut dari keset kaki. Lalu, dia beralih menatap bekas luka di gusinya. Ah, Rachel sialan!
Mia mendengar pintu kamarnya dibuka. Ia langsung berbalik seraya berkata, "Ibu."
Namun Mia langsung terdiam saat melihat siapa yang datang. Bukan Ibunya, tetapi ayahnya. Orang yang disayang sekaligus dibenci Mia.
"Mia, kamu tidak bisa dibiarkan begini!" Rusdan langsung berteriak, tanpa menyapa atau apa pun itu. Ia mendekati Mia dengan langkah tergesa. Kedua tangannya mengepal.
"Rachel itu saudara kamu! Seharusnya kamu menjaga dia. Kalian harus saling menjaga. Baik itu secara lahir atau batin."
Mia hanya bisa menatap Rusdan yang sedang berdiri tepat di hadapannya. Mia menarik selimut hingga kepala, tak mengindahkan perkataan Rusdan. Mia sudah lelah dan tidak mau berdebat. Bahkan untuk mengeluarkan sepatah kata pun Mia tidak mau. Percuma Mia berbicara karena Rusdan tidak akan mendengarkannya.
Rusdan mengibaskan selimut yang menutupi seluruh tubuh Mia. Dipaksanya Mia bangun dan menuruti semua perintahnya.
"Terus kamu malah menolak tawaran Owen untuk menjemputmu. Kamu tidak bisa dibiarkan begitu saja, Mia!" Rusdan mengeraskan rahangnya. "Sekarang, Ayah minta kamu ganti pakaian kamu! Kita akan menemui keluarga Pak Adam sebagai permintaan maaf karena sikap kamu, Mia!"
"Ini sudah pukul sepuluh malem, Yah." Mia duduk bersandar di kepala ranjang. Wajahnya ditekuk semaksimal mungkin.
"Justru itu, supaya kamu dapat pelajaran." Rusdan menarik tangan Mia.
Mia mempertahankan posisinya. Kali ini Mia menolak, tidak menuruti keinginnya ayahnya.
"Bukannya Ayah udah janji mau ngebebasin Mia dari perjodohan. Kalau Mia berprestasi, Ayah nggak akan menjodohkan Mia 'kan?" Mia mengibaskan tangan Rusdan. Ia menarik selimut kembali, menutup seluruh tubuhnya.
"Prestasi? Prestasi apa Mia?" Rusdan menarik selimut Mia.
Mia setengah terduduk. Wajahnya memerah karena kesal yang tertahan. "Mia bisa melukis!"
Mia menaikkan volume suaranya. Sebenarnya Mia tahu, tak harusnya ia berbicara keras di hadapan ayahnya, tetapi kali ini tidak bisa ditahan lagi.
"Melukis?!" Rusdan tak kalah berteriak. Ia terdiam, kemudian tertawa untuk beberapa detik. Rusdan mengusap wajahnya kasar. Ia menatap Mia, lalu pandangannya beralih pada potret seorang cowok yang tertempel di dinding. "Seperti Arubi?"
Mia terdiam. Rusdan terdiam. Sunyi senyap, yang terdengar hanya suara daun yang saling bergesekan dari arah luar. Mia tidak berani menjawab pertanyaan Rusdan. Terlalu mencekam untuk berbicara.
"Pokoknya tidak ada istilah 'melukis'. Kamu harus berhenti melukis! Memangnya dengan melukis kamu bisa dapat apa? Dapet beasiswa kuliah ke luar negeri? Arubi bisa saja mendapat beasiswa karena melukis, tapi kamu belum tentu, Mia." Rusdan berdiri seraya melipat kedua tangan di depan dada.
"Mia benci Ayah!" Teriak Mia.
"Pokoknya kamu harus menuruti kemauan Ayah, Mia." Rusdan menarik tangan Mia kembali.
"Tidak mau!"
"Baik kalau ini keinginan kamu, Mia." Rusdan melepaskan cengkeram tangannya. Ia berjalan memunggungi Mia, "Kamu tidak akan bisa ke luar dari kamarmu sebelum kamu menuruti kemauan Ayah."
Rusdan langsung menutup pintu. Mia mendengar dua kali pintu kamarnya dikunci. Mia tidak peduli. Lebih baik Mia menua di dalam kamar daripada harus menuruti perkataan Rusdan.
"Mia benci kalian semua! Benci Kak Arubi, benci Ayah!" Mia melemparkan bantal ke arah pintu. Ia bangkit lalu mengacak-acak meja belajar.
Selalu saja Mia dibanding-bandingkan. Kalau tidak dibandingkan dengan Rachel, pasti dibandingkan dengan Arubi. Tapi bukankah setiap orang punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing? Bukan ini kehidupan yang diinginkan Mia! Mia tidak ingin kehidupannya seperti ini.
Mia meneteskan air matanya. Ia terduduk di lantai seraya bersandar pada pinggiran ranjang. Mengusap air mata dengan punggung tangannya. Pandangannya beralih pada potret Arubi di dinding.
"Gue benci lo, Kak!" Teriak Mia seraya sesenggukan.
"Lukisan Kakak jelek, lukisan Kakak jelek!" Mia berjalan di belakang Arubi yang sedang merapikan lukisannya. Mia sengaja mondar-mandir tidak jelas supaya ucapannya bisa terdengar oleh sang kakak.
"Diam Mia!" Arubi melemparkan kuas ke arah Mia, tetapi tidak tepat sasaran.
"Gak mau! Lukisan Kakak jelek, lukisan Kakak jelek!" Mia masih mengoceh. Ia sangat suka menjaili kakaknya.
Seolah tidak mendengarkan ocehan Mia kembali, Arubi memotret lukisannya menggunakan kamera ponsel dari berbagai angle.
Arubi memang tidak memiliki ruangan khusus untuk melukis, makanya ia melukis di kamarnya sendiri. Setelah mendapatkan hasil potretan yang paling bagus, Arubi merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Pandangannya tidak beralih dari ponsel, bibirnya masih senyum-senyum tidak jelas.
"Woy! Senyum-senyum sendiri." Mia menjatuhkan dirinya di samping Arubi. Berusaha mengintip apa yang sedang dilihat Arubi dari ponselnya, tetapi tidak bisa karena Arubi menyembunyikannya.
Arubi langsung bangkit seraya memasukkan ponselnya ke saku celana jin.
"Kepo, deh, jadi orang!" Arubi berdiri di depan lukisannya. Ia melipat kedua tangan seraya mengangguk-angguk sendiri. Beberapa kali Arubi memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti sedang mengukur sesuatu.
Mia duduk di sisi ranjang. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa.
Arubi merasakan ponselnya bergetar, ia segera merogohnya. Seketika,raut wajah Arubi berubah menjadi muram. Mia dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresi itu.
Mia bangkit, mendekati kakaknya. Pasti terjadi sesuatu.
"Kak, kenapa?" Mia memegang bahu Arubi yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Sial!" Teriak Arubi, wajahnya memerah. Hidungnya kembang kempis. Giginya saling menggertak satu sama lain.
Mia mundur beberapa langkah menjauhi Arubi.
"Sial!" Teriak Arubi kembali. Cowok itu berjalan menuju lukisannya. Tanpa di sangka, Arubi meninju lukisannya yang baru selesai beberapa menit yang lalu.
Mia menghentikan tangisannya. Mengingat masa lalu malah membuatnya semakin menderita. Seharusnya Mia tidak pernah membayangkan masa lalu dirinya dengan Arubi. Meski Arubi yang paling dibanggakan oleh Rusdah dibanding dirinya, tetapi Arubi juga memiliki sisi kesedihannya sendiri. Arubi juga pernah mengalami masa sedih, sama seperti dirinya, meski dalam bentuk yang berbeda.
Kenapa hidupnya seburuk dan semenyakitkan ini? Ingin rasanya—meskipun sekali saja—Mia merasakan kebahagiaan seperti yang orang lain rasakan. Jika suatu saat nanti Mia menikah, Mia berjanji, ia akan menikah dengan orang yang benar-benar mencintainya. Supaya anak Mia kelak tidak merasakan penderitaan seperti dirinya saat ini. Mia berjanji agar menjadi orang tua yang tidak pilih kasih kepada anaknya.
== N E X T ==
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Minutes
Teen FictionPernah naik bus? Terus ketemu orang baik yang rela berdiri supaya kita bisa duduk? Apakah kamu akan jatuh cinta pada orang baik tersebut? Mungkin kamu akan jatuh cinta pada kebaikannya. Inilah kisah Mia dan Rizki yang bertemu di dalam bus.