Mia senang, karena Dena dan Rusdan sebentar lagi akan bercerai. Meski sebenarnya sebuah perceraian tidak patut untuk disenangi. Tetapi, bagi Mia perceraian yang dialami Dena dan Rusdan berbeda lagi ceritanya.
Mia memutar sebuah lagi Mozart dari Beethoven yang berjudul 'Love Story'. Sebelah tangannya masih mengalun di atas kanvas. Sketsa yang dibuatnya sudah beres. Sekarang Mia tinggal membuat lukisan itu di atas kanvas. Sesekali ia menengadah, menatap langit-langit kosong untuk mengharap sebuah inspirasi.
Tidak terasa, tenggat waktunya tinggal tiga hari lagi. Dan Mia baru saja hendak membubuhkan catnya di atas kanvas sekarang. Benar-benar tidak produktif.
Ini kesempatan Mia yang tidak boleh disia-siakannya. Nilai akademiknya sudah menaik pesat. Dan sekarang, Mia ingin membuktikan pada Rusdan kalau dirinya lebih unggul ketimbang Rachel. Selain dalam bidang akademik, Mia juga ingin unggul dalam bidang melukis. Mia juga ingin membuktikan pada Rusdan kalau melukis itu bukan pekerjaan yang sia-sia.
Stuck. Mia tidak bisa lagi meneruskan pergerakkan tangannya. Ia menghampiri kasur dan merebahkan dirinya di sana dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya.
Mia melirik jam dinding, baru pukul 21.00 WIB. Dan dirinya baru menggoreskan sedikit warna pada lukisannya.
"Mia, sebaiknya lo tidur dulu sebentar. Biar otak lo fresh lagi." Gumam Mia menasehati diri sendiri.
***
Mia membuka mata, ia memperhatikan sekelilingnya. Yang pertama kali ia lihat adalah jam dinding. Sekarang pukul 07.00 WIB. Mia panik bukan main. Ia kira hanya tidur beberapa jam, ternyata Mia tidur selama sepuluh jam.
Ya ampun, Mia benar-benar tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Ia mengacak rambutnya. Tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin ikut lomba, tapi lukisannya belum selesai sama sekali. Dada Mia benar-benar terasa sesak. Sekarang, ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Sudah, sudah hancur harapan Mia tersapu ombak.
"Mia, ini ada Nak Rizki!" Teriak Dena dari lantai bawah.
Mia tidak merespons. Ia terdiam, sambil terisak. Menyesal sekali sudah tidur selama itu. Dan sekarang, meski sudah tidur sepuluh jam, Mia tidak mendapatkan inspirasi apa pun. Mia menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal, sesekali tangannya menyeka air mata yang menetes tanpa diminta.
"Mia!" Mia melihat slot pintunya yang bergerak ke bawah. Pintu itu berayun terbuka, menampakkan seorang cowok yang sedang tersenyum ke arahnya. "Ibu kamu menyuruhku menyusulmu ke sini."
Mia tidak menggubris, ia malah duduk di tepi ranjang seraya menahan air matanya supaya tidak keluar. Tetapi menahan air mata untuk tidak keluar itu bukanlah perkara yang mudah.
"Mia, kenapa menangis?" Rizki bergegas menghampiri Mia dan duduk di tepian ranjang.
"Gue sedih, enggak bisa ikutan lomba." Mia menangis semakin menjadi.
"Kenapa? Bukankah kamu masih memiliki waktu buat menyelesaikan lukisannya?" Rizki membelalakkan mata.
"Gimana bisa selesai, lukisannya belum beres." Mia menangkupkan kedua telapak tangannya pada wajah.
"Kamu bisa Mia, jika perlu aku akan membantumu." Rizki meraih sebelah tangan Mia.
"Lo enggak bisa bantu apa-apa." Tiba-tiba saja Mia menempelkan keninganya di bahu Rizki. Ia menangis sejadi-jadinya.
Rizki terdiam, ia mengelus rambut Mia. Membiarkan cewek itu meluapkan emosinya.
Mia menangis di pelukan Rizki, tetapi yang ia rasakan adalah kehadiran Arubi. Entah, menurut Mia, Rizki dan Arubi tidak ada bedanya. Keduanya sama-sama sosok pelindung bagi Mia.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Minutes
JugendliteraturPernah naik bus? Terus ketemu orang baik yang rela berdiri supaya kita bisa duduk? Apakah kamu akan jatuh cinta pada orang baik tersebut? Mungkin kamu akan jatuh cinta pada kebaikannya. Inilah kisah Mia dan Rizki yang bertemu di dalam bus.