12

641 66 3
                                    

Mia membantu Rizki keluar dari masalahnya dan merelakan dirinya berada dalam masalah besar. Ia sudah bisa membayangkan omelan Rusdan dan ibu tirinya. Melihat dari pengalaman, omelan itu ujung-ujungnya akan memojokkan Dena.

Mia menaiki anak tangga dengan gontai, ia tidak memedulikan penampilannya yang acak-acakan. Toh, ia memang sengaja membuat dirinya terlihat berantakan.

Dari kejauhan, ia sudah melihat Rusdan dan Renita yang menatap tajam ke arahnya. Mia berpura-pura santai saja. Ia juga melihat beberapa orang yang membelakanginya. Mia tidak bisa menebak siapa saja orang itu.

"Maaf, membuat kalian menunggu." Mia menarik kursi di sebelah Rusdan. Ia menunduk, tidak berani menatap orang di hadapannya.

Mia lalu teringat sesuatu, seharusnya ia mengajak Rizki kemari. Ia harus meminta bantuan Rizki untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Bodohnya Mia, kenapa ia tidak sempat berpikiran seperti itu? Dengan bersama Rizki, probabilitas dirinya dijodohkan dengan anak rekan kerja Rusdan jadi berkurang. Tapi Mia sudah telanjur duduk di kursi panas itu. Rusdan tidak akan mengizinkan Mia pergi dari sana lagi, setelah tadi pergi terlalu lama.

Rachel tersenyum manis, jelas, di balik senyuman itu ada kebusukan yang tersembunyi. Dalam hatinya, ia tertawa sekencang-kencangnya. Ia sudah tidak sabar untuk memojokkan Mia di sekolah.

"Rusdan, kenapa kamu tidak memberitahuku kalau anak kamu adalah Mia?" Adam berbicara, mengenali wajah Mia.

Mia lalu mendongak, melihat ke arah Adam. Dan seketika wajah murungnya berubah jadi bahagia.

"Pak Adam!" Mia hampir berteriak melihat siapa pria paruh baya di hadapannya.

Rachel langsung tersedak saat melihat tingkah Mia. Renita tak kalah terkejut, hampir saja ia menyemburkan minuman di mulutnya. Untung saja ditahan, kalau tidak, pasti akan memalukan.

"Pak Adam sudah mengenal Mia?" tanya Rusdan begitu terkejut. Ia menatap Adam dan Mia secara bergantian.

"Mia, di mana Rizki? Tadi saya melihat kamu bersamanya di bawah." Adam tidak menggubris pertanyaan Rusdan. Perhatiannya sudah teralihkan pada Mia.

"Rizki sudah pulang, Pak." Mata Mia berbinar seketika. Ia merasakan lega yang luar biasa.

Mia melirik ke samping Adam, di samping kanan ada wanita paruh baya yang memakai gaun berwarna putih. Cantik sekali, tidak terlihat kerutan yang menghiasi wajahnya. Sedangkan, di samping kiri ada cowok tampan yang memakai tuxedo hitam. Rambut cowok itu terlihat sangat rapi, bibirnya semerah delima. Satu hal yang ada dalam bayangan Mia, cowok itu mirip personil boyband Korea.

Adam mengangguk pelan mendengar jawaban Mia. Lalu pandangannya beralih pada wanita di samping Adam dan Mia secara bergantian.

"Mia, perkenalkan. Ini Sophie, istri saya." Adam tersenyum, membiarkan Mia dan Sophie saling menyapa dengan senyuman.

Mia menyambut uluran tangan Sophie. Wanita itu kaya, tapi sepertinya sangat rendah hati.

Selanjutnya Adam melirik ke arah samping, "Dan ini, Owen, anak saya yang pertama."

Owen dengan semangat mengulurkan tangannya pada Mia. Tentu saja Mia tidak bisa menolak. Mereka saling melempar senyum. Meski tidak tahu, apakah senyuman itu mengisyaratkan kebahagian atau hal yang lainnya.

"Bagaimana kabar adek Lucu?" Celetuk Mia. Ia tidak melewatkan senyumannya selama berbicara. Ia tidak tahu nama anak yang ditolongnya, makanya ia memanggil dengan panggilan adek lucu.

"Maksud kamu Gempar?" Adam berhenti sejenak. Setelah melihat anggukan dari Mia, ia berbicara kembali, "Tentu saja dia baik-baik saja. Hanya saja anak itu harus beristirahat, makanya tidak dibawa ke sini. Gempar hanya masuk angin saat itu, makanya ia muntah-muntah di bus."

Rusdan berdeham. Ia merasa tidak diacuhkan. Barulah setelah itu, Adam melirik ke arah Rusdan.

"Mia dan Rizki menolong anak saya yang sakit di dalam bus. Mereka yang membawa anak saya ke rumah sakit." Adam menjelaskan.

"Lalu bagaimana dengan kelanjutan kerja sama kita?" Rusdan harap-harap cemas. Ia tidak tertarik dengan topik pembicaraan itu, yang ada di dalam pikirannya hanya perusahaan dan kerja sama.

"Lanjutkan saja, Pak Rusdan. Saya tidak keberatan jika perusahaan saya berkerja sama dengan perusahaan Pak Rusdan. Saya sudah berjanji untuk memfasilitasi proyek pembangunan Anda."

"Lalu, soal Mia dan Owen bagaimana?" Rusdan manatap Adam kembali. Rasanya ia sudah tidak tertarik lagi dengan makanan yang sudah tersaji di atas meja.

"Tentu saja berlanjut." Jawab Adam dengan mantap, ia tertawa pelan.

Mendengar pernyataan itu, Mia mengaduh dalam hati. Mia tidak pernah membayangkan kalau akhirnya jadi seperti ini. Mia kira, perjodohannya akan dibatalkan. Iya, dibatalkan karena Adam menganggap Mia dan Rizki berpacaran. Akan tetapi, nyatanya tidak seperti itu. Orang memang tidak gampang ditebak.

***

Setelah sampai di rumah, Mia disambut Dena di daun pintu. Wanita itu tampak berkacak pinggang menatap Rusdan di samping Mia.

"Apa yang Mas lakukan pada anakku?" Dena tidak terima dirinya tidak diikutsertakan. Bagaimanapun juga Mia anaknya, dan Dena harus ikut campur.

"Aku berusaha menjodohkan dia dengan salah satu anak rekan kerjaku." Rusdan melipat kedua tangannya di depan dada.

Dena membusung, "Tega kamu, Mas. Memangnya kamu tidak pernah berpikir bahwa Mia masih anak SMA? Dia masih kecil."

Mia mendesah melihat kedua orang tuanya. Ia memilih untuk duduk di sofa, merebahkan dirinya di sana. Berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan.

Andai saja ada Arubi, mungkin setidaknya Mia mempunyai tempat curhat. Punya seseorang yang bisa melindunginya selain sosok seorang ibu. Mia yakin, Arubi akan selalu ada di pihaknya. Kakaknya itu selalu melindungi Mia setiap saat.

"Aku hanya menginginkan Mia mendapatkan yang terbaik. Demi masa depannya." Rusdan masih berdiri di ambang pintu.

"Kamu pikir, menikah bisa menjamin kehidupan dan kebahagiaan Mia? Jelas, tidak." Rahang Dena mengeras, ia sudah tidak bisa menahan emosinya lagi.

"Dia bisa apa jika prestasi akademiknya rendah? Dia tidak sebagus Arubi dalam hal akademik."

"Alasan! Kamu hanya memanfaatkan Mia untuk kepentingan bisnis saja. Kenapa kamu tidak menjodohkan Rachel saja, hah?" Dena semakin berani. Ia melipat kedua tangannya dan menatap tajam ke arah Rusdan.

"Baik, kalau begitu. Akan Mia tunjukkan pada Ayah kalau Mia juga punya kelebihan. Mia akan punya masa depan yang cerah sesuai dengan pilihan Mia." Mia berdiri, sedari tadi ia memang menguping pembicaraan kedua orang tuanya itu.

"Mia bakalan pegang kata-kata Ayah. Mia dijodohkan karena menurut Ayah Mia gak punya masa depan. Jika Mia berhasil menunjukkan kelebihan Mia pada Ayah, maka Ayah harus membatalkan perjodohan ini." Mia berbicara dengan penuh penekanan. Ia menyipitkan kedua belah mata. Napasnya naik-turun tak menentu.

"Bukan begitu, Mia," ujar Rusdan.

"Pokoknya Mia bakalan tunjukin pada Ayah kalau Mia bisa seperti kakak dan Rachel." Mia mengambil bergegas pergi ke kamar. Malam ini menjadi malam yang paling melelahkan dalam hidup Mia. Ia tidak mau lagi mendengar perdebatan antara kedua orang tuanya.

Mia merebahkan diri di atas kasur, menatap langit-langit kamarnya yang begitu putih dan bersih. Ia belum sempat berganti pakaian karena kepalanya dipenuhi bayang-bayang ketakutan.

Bagaimana kalau seandainya Mia tidak bisa membuktikan perkataannya pada Rusdan? Tamatlah riwayat Mia. Ia pasti akan dijodohkan dengan Owen. Mia benar-benar tidak mau, sekarang sudah zaman modern, seharusnya tidak ada lagi acara perjodohan.

Mia terduduk di tepi ranjang, tangannya memegang erat sprei berwarna merah muda tersebut. Matanya terpejam. Sulit. Mia tidak bisa berdiam diri saja.

Mia menarik napas panjang dan mengembuskannya berat. Ia langsung bangkit berdiri seraya mengepalkan kedua tangannya di udara. Oke. Mia harus semangat. Tidak mengeluh.

Tiba-tiba saja Mia punya ide cemerlang. Ia berjalan menuju lemari besar, lalu membukanya perlahan. 

== N E X T ==

30 MinutesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang