17

597 60 9
                                    

Mia berjalan mendekati pintu. Ia menekan slot pintu. Sial! Benar saja, terkunci. Rusdan bukan hanya mengancam Mia dengan kata-kata, tetapi Rusdan juga melakukan ancamannya.

"Besok, sepulang sekolah ayah jemput kamu." Teriak Rusdan dari balik pintu. Deru napasnya terdengar sampai telinga Mia. "Tidak ada penolakan!"

Mia menempelkan daun telinga pada pintu. Beberapa detik kemudian, ia mendengar suara langkah kaki menjauhi kamarnya. Rusdan pergi dan masih mengurungnya di dalam kamar.

Ok. Mia harus melakukan sesuatu yang bermanfaat selama dirinya dikurung di dalam kamar. Mia menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Berantakan! Emosi membuat Mia menjadi monster pengacak kamar.

Satu per satu Mia memunguti bantal dan guling yang berjatuhan di lantai. Ia menyimpannya di tempat semula. Selain itu juga, Mia mengembalikan buku dan alat tulis yang berceceran ke meja belajarnya kembali. Setelah semuanya dianggap rapi kembali, Mia meraih laptop.

Mia berjalan menuju kasur dengan laptop di genggamannya. Ia terduduk, menyimpan laptop di pangkuannya. Mia menghela napas berat, lalu mengeluarkannya pelan. Ia melakukan hal itu berkali-kali hingga detak jantungnya normal kembali.

Setelah emosi kesalnya surut, Mia membuka laptop. Ia segera membuka file dan beberapa poster yang diunduhnyanya jauh hari. UOB Painting of the Year. Mia akan mengikuti lomba itu. Awalnya Mia sempat ragu untuk mengikuti lomba tersebut, tetapi karena rasa ingin 'membuktikan' prestasi kepada Rusdan begitu menggebu, maka Mia berani untuk maju.

Mia sudah melukis di sekolah, tetapi belum beres. Besok dan seterusnya, Mia akan giat menyelesaikan lukisannya sebelum tenggat waktu yang telah ditentukan.

Lalu Mia menggerakan kursor laptopnya pada file yang lain. Ia mengklik file yang berisi info beasiswa. Selama ini, Mia mengagumi sosok Basuki Abdullah yang merupakan alumni Academia voor Beeldende Kunsten, makanya Mia sangat bermimpi kuliah di sana. Mia selalu dibuat kagum oleh semua karya sang maestro yang beraliran realis dan naturalis itu. Salah satu lukisan yang Mia sukai adalah lukisan berjudul 'Adik dan Kakak'. Entah bagaimana lukisan itu terlihat begitu hidup bagi Mia.

"Gue harus bisa kuliah di sana!" Teriak Mia dalam hati. Matanya menatap barisan angka di depannya dengan teliti. Seketika matanya membelalak tak percaya.

"Gila, nilai rapornya harus bagus!" Mia mengacak rambutnya. Kenapa bisa ia menyadari hal itu sekarang? Padahal Mia sudah mengunduh file persyaratan beasiswa tersebut beberapa bulan yang lalu. Seharusnya Mia membaca betul-betul persyaratan beasiswa tersebut jauh-jauh hari.

Mia hanya memiliki dua semester yang tersisa, itu artinya ia masih memiliki kesempatan untuk menaikkan nilai rapornya. Sekarang, nilai-nilai yang didapatkan Mia cukup membaik. Mia yakin, ia bisa lebih baik lagi dari itu. Tetapi, bagaimana caranya?

Rizki! Ya, Rizki. Mia harus meminta pertolongan cowok itu. Kebetulan Rizki itu guru les privat, jadi Mia bisa mendaftar. Rizki bisa membantu Mia supaya lebih produktif dalam belajar.

***

Pagi hari, Mia sudah siap berangkat ke sekolah. Tetapi dirinya masih berada di dalam kamar. Telinganya menangkap langkah kaki yang mendekat. Mia bergegas mengambil tas dan berjalan mendekati pintu.

"Mia, Ayah akan mengantarkan kamu ke sekolah." Rusdan membuka pintu, ia sudah rapi dengan setelan jas dan celana katunnya.

Mia tidak menggubris pernyataan Rusdan. Ia berjalan membuntuti Rusdan dari belakang.

"Sarapan dulu, Mia." Rusdan menarik kursi meja makan lalu mendudukinya. Sedangkan Mia masih berdiri seperti orang kebingungan.

Dimana Dena? Kenapa ibunya tidak ada? Tiba-tiba Mia teringat sesuatu, sudah sejak kemarin sore Mia tidak membuka ponselnya. Ia melihat notifikasi panggilan dari Dena yang tidak terangkat olehnya karena ponselnya dibisukan.

30 MinutesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang