Part 9-IPA

2.2K 265 8
                                    

Tidak ada cinta yang lebih indah di dunia ini selain mencintai dan dicintai oleh Sang Illahi Rabbi.

~Imam Penyempurna Agamaku~

🌹🌹🌹

"Aneska ... Apa maksud kamu, Nak?" tanyanya lirih.

Air mata Sonia terjatuh. Ia memang senang mengetahui ada keinginan Aneska untuk kembali memeluk agama Islam, tapi rasa terkejutnya lebih mendominasi. Masih segar diingatannya saat putrinya ini berhenti menyebut asma Allah. 

Gadis kecil berumur 6 tahun yang memakai gamis putih itu berlarian ke rumahnya dengan semangat. Ia membawa piala dan sejumlah uang dalam amplop coklat.

"Papa! Mama! Zara! Mas Arzan! Kalian di mana?"

Ish. Kok sepi sih! Batin Zia.

"Mama, Zia juara 1!"

Teriakannya begitu menggema, tapi tak terlihat seorang pun menanggapi panggilannya. Ia berlari ke arah dapur, tapi kosong. Padahal ia ingin menunjukkan apa yang sudah didapatkannya saat mengikuti lomba menghapal Al-Qur'an di Masjid. Zara tidak bisa mengikuti lomba itu karena sedang demam.

Samar-samar ia mendengar suara orang berbicara. Ia berlari-lari saat menaiki tangga, bahkan kakinya tersandung saat akan mencapai tangga paling atas.

Gadis itu tidak menangis meski sakit menjalar pada kakinya. Tubuhnya justru berjongkok. Ia menaruh dulu piala dan amplop coklat itu di tangga, kemudian memukul pelan tangganya.

"Dasar tangga nakal! Siapa yang ngebangun tangga di rumah ini? Zia jatuh kan jadinya."

Setelah puas dengan tingkah anehnya, ia kembali mengambil bawaannya dan menaiki tangga terakhir. Zia berjalan agak tertatih. Senyuman di bibirnya terukir saat pintu kamar orang tuanya sudah di depan mata.

"Pa! Ma!" teriaknya sambil membuka pintu lebar-lebar.

"Ini gak mungkin. Ya Allah, apa lagi ini? Bagaimana aku mengatakannya pada ketiga anakku?"

Kening Zia terlipat mendengar Mamanya berbicara sendiri sambil menggenggam ponsel.

"Ma?" panggilnya.

Ia berjalan mendekati Mamanya.

Sonia menengadahkan kepalanya. Matanya semakin berair melihat Zia. Zia tidak tega melihat Mamanya menangis. Ia mengusap air mata di pipi Sonia dengan jari kecilnya setelah menaruh barangnya. "Mama kenapa nangis?"

Sonia terisak. Tangisnya tak bisa ia redam.

"Mama pasti seneng yah liat Zia bawa piala. Soalnya kata bu guru kalau kita gak nakal tapi Mama-Papa nangis berarti ter-apa ya namanya? Terhura? Eh bukan, terharu."

Zia bingung melihat Mamanya yang masih menangis. Tapi mulutnya tetap mengoceh seakan tidak terjadi apa-apa. "Oh iya, tau nggak, Ma? Zia tadi hafalannya paling banyak lho, terus kata ustadz sama ustadzah yang jadi juri suara Zia merdu banget. Tinggal hafalannya aja terus dibanyakin supaya nanti jadi hafidzah, seperti keinginan Papa."

"Zia," lirih Sonia agar Zia menghentikan ocehannya.

"Papa mana? Tadinya kan janji sama Zia siang ini udah ada di rumah. Ih boong lagi tuh kan! Dicatet sama malaikat nanti, kalau Papa ngelanggar janji."

Dengan tangan gemetar Sonia memegang kedua bahu Zia. Kalau boleh jujur, hatinya remuk redam bahkan sebelum memberitahukan berita mengerikan sekaligus mengejutkan ini. "Berhenti Zia! Mama mau bicara."

Imam Penyempurna Agamaku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang